3.2 Segalanya Telah Berbeda

193 65 5
                                    

Nathaniel menggelengkan kepala dan menyingkirkan pikiran itu. Mungkin para malaikat lain di Eyden membencinya dan tidak ingin ia kembali, tetapi Nathaniel percaya jika ayahnya tidak akan seperti itu. Ayahnya mungkin memiliki maksud lain dari semua yang dijalani Nathaniel di bumi ini.

Yeah, maksud lain selain membuatmu terus merasa bersalah pada Aniela.

Sambil mendengkus pelan untuk menghilangkan semua pikiran buruknya, Nathaniel turun dari tempat tidur. Ia berhati-hati agar tidak menginjak pecahan gelas. Ia tidak perlu membereskannya karena tugas itu akan dilakukan Thomas, pelayan pribadinya selama bertahun-tahun ini.

Nathaniel masuk ke kamar mandi dan membasuh wajahnya. Ia menatap wajanya sendiri di depan cermin. Wajahnya tidak berubah ataupun menua selama ratusan tahun ini. Ia masih serupawan dulu. Satu hal yang cukup sulit di dunia manusia, karena manusia umumnya menua.

Karena itulah ia terbiasa tinggal berpindah-pindah untuk menghindari kecurigaan. Juga, untuk tugas yang diberikan ayahnya yang memaksanya untuk tinggal berpindah-pindah dari satu belahan bumi ke belahan bumi lainnya.

Sekarang ini, Nathaniel berada di Inggris, tepatnya di Lancaster, sebuah kota kecil di tepi Sungai Lune, di barat laut Inggris.

Pertama kali tiba di sini, hampir dua puluh tahun yang lalu, Nathaniel tidak mengerti kenapa ayahnya mengirimnya kemari. Apalagi, tugas-tugasnya saat itu berada cukup jauh dari kota ini hingga ia harus menempuh perjalanan yang cukup lama dari rumahnya.

Namun, sekarang Nathaniel merasa cukup nyaman tinggal di sini. Terutama karena tempat ini adalah kota kecil yang cukup tenang.

Ia sudah hidup di berbagai negara, berbagai kota besar, dan juga pedesaan, dan selama itu, Nathaniel mencoba untuk beradaptasi dengan baik. Meskipun kadang, semuanya terasa cukup sulit baginya.

"Anda akan keluar sepagi ini?" tanya Thomas yang, entah bagaimana, sudah sangat rapi dengan seragam kerjanya yang biasa meskipun saat itu baru pukul enam pagi.

Nathaniel mengangguk. "Aku mau lari pagi."

Thomas mengernyit sebentar sebelum kembali memasang wajah datar. "Tetapi di luar gerimis, Sir."

Nathaniel menelengkan kepala untuk melihat melalui jendela yang masih setengah tertutup tirai putih tipis, dan melihat titik-titik air di jendelanya yang gelap.

Satu hal lain yang ia benci dari Inggris. Negara ini jauh lebih sering hujan meskipun saat ini masih di akhir musim panas.

"Hanya gerimis kecil. Aku akan segera kembali."

Sebelum Thomas membuka mulutnya lagi, Nathaniel sudah membuka pintu dan sedikit bergidik saat angin dingin menerpa wajahnya. Ia menaikkan tudung jaket, lalu menutup pintu dan berlari kecil menuju ke pagar rumahnya yang cukup jauh dari pintu.

Sebenarnya, Nathaniel bisa saja hanya berkeliling rumahnya yang besar, dan akan tetap merasa lelah setelahnya. Namun, apa serunya memutari tempat yang sudah kau lihat selama puluhan tahun?

Walaupun ia tidak pernah membalas sapaan orang-orang yang ia lihat setiap hari, setidaknya itu masih jauh lebih baik daripada hanya mendengar kicauan burung atau kelinci liar yang berlari di halamannya. Juga, mengingatkan Nathaniel bahwa ia hanya manusia biasa sekarang. Sesuatu, yang Nathaniel harap, akan segera berakhir.

Nathaniel tahu dirinya akan segera menerima tugas lain dari sang ayah. Dan itu, akan menjadi tugas terakhir Nathaniel di bumi. Setelah itu, keputusan akan dibuat Raphael. Entah ia kembali ke Eyden, atau menjadi manusia selamanya.

Namun, jika Nathaniel boleh memilih, seandainya tugas terakhirnya gagal, Nathaniel akan meminta hal lain pada ayahnya alih-alih menjadi manusia. Ia akan meminta sang ayah membunuh dirinya. Jauh lebih baik baginya untuk mati daripada menjadi manusia selamanya.

***

Isobel Winter menguap untuk ke sekian kalinya pagi itu, dan meregangkan otot tubuhnya yang kaku setelah mondar mandir untuk memeriksa banyak selama hampir dua belas jam.

Jam kerjanya yang panjang akan segera berakhir, dan setelah ini, ia bisa pulang ke apartemennya yang nyaman, lalu tidur hingga esok hari.

Sudah dua hari ia tidak pulang, dan Izzy –begitu ia biasa dipanggil, sudah sangat merindukan tempat tidur dan apartemen kecilnya. Juga Leo, yang pasti sangat gelisah menunggunya di rumah.

"Kuharap tidak ada pasien gawat yang tiba-tiba datang. Aku rasanya bisa tidur sambil berjalan," gumam Johanna, rekan kerja Izzy, sambil meletakkan secangkir kopi yang masih sangat panas di hadapan Izzy.

Ia meraih cangkir dengan kedua tangan, menghirup aroma kopi yang harum hingga uapnya memburamkan kacamata yang dipakainya, dan menyeruput kopi pahit itu. Matanya sedikit lebih segar setelah mendapatkan asupan kafein.

Ia bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit besar di kota Lancaster. Perawat di unit gawat darurat, yang biasanya, selalu sibuk.

Entah mengapa, meskipun Lancaster termasuk kota kecil, tinggal kecelakaan di kota ini begitu besar dan sering. Ia tidak bisa pulang selama dua hari ini, juga karena banyaknya pasien yang masuk ke unitnya sementara staff di IGD tidak terlalu banyak.

"Oh, jangan sampai. Aku mungkin akan salah memasang selang infus jika ada pasien yang masuk sekarang," timpal Izzy sambil kembali menyeruput kopinya.

"Bagaimana kalau kita sarapan roti panggang yang enak di depan stasiun sebelum kita pulang?" tawar Johanna kemudian hingga menerbitkan senyuman yang jarang muncul di bibir Izzy.

"Roti panggang tidak akan cukup. Aku akan memesan pai daging, sosis bakar, dan..."

Ucapan Izzy terhenti karena telepon yang tiba-tiba berdering di hadapannya. Izzy melirik Johanna yang juga menatapnya dengan mulut setengah terbuka.

Telepon di tengah malam, atau pagi hari, jarang berarti kabar baik. Dan sebenarnya, telepon di unit gawat darurat tidak pernah berdering untuk sebuah kabar baik.

Izzy meraih telepon, dan menempatkan benda itu di telinganya seraya menyebutkan nama rumah sakit tempatnya bekerja tanpa semangat sama sekali.

Tolong, jangan pasien, bisiknya dalam hati dengan penuh harap.

"Korban kecelakaan. Seorang pria usia tiga puluhan tanpa identitas yang ditabrak supir yang mabuk. Ia mengalami cedera kepala yang cukup parah, dan patah tulang pada kakinya. Kami akan sampai sekitar enam menit lagi."

Izzy memundurkan kursi dan berlari mencari dokter jaga pagi itu. Sudah, impiannya untuk tidur dan makan, kandas sudah.

The Cursed Angel (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang