2.1 Pengusiran dari Eyden

224 76 7
                                    

Kematian Aniela menimbulkan kegemparan di Eyden. Sebagai makhluk yang jauh lebih sempurna daripada manusia biasa, tidak seharusnya malaikat membunuh malaikat lainnya. Apalagi jika hanya karena urusan nafsu belaka.

Hanya Raphael, sang Malaikat Agung yang bisa melakukan hal tersebut. Jika ada malaikat yang melakukannya selain Raphael, itu berarti malaikat tersebut harus menerima hukumannya. Tidak peduli jika malaikat itu adalah putra Sang Malaikat Agung sendiri.

Dan, bentuk hukuman itu hanya berupa pengusiran dari surga dengan dua cara. Entah dikirim ke neraka selama ratusan tahun untuk membayar dan merenungkan kesalahannya, atau, yang lebih buruk lagi, diturunkan ke bumi dan menjalankan misi untuk para manusia biasa sebelum bisa kembali ke surga.

Biasanya, para malaikat yang berdosa akan lebih memilih untuk pergi ke neraka. Setidaknya, tempat itu hanya berada beberpa tingkat di bawah surga. Ratusan tahun di neraka masih jauh lebih cepat daripada ratusan tahun di dunia manusia. Waktu di surga dan neraka berjalan dua kali lebih cepat daripada waktu di bumi.

Dan biasanya, mereka hanya perlu melakukan perenungan di sana sembari melihat siksaan yang terjadi di neraka. Akan tetapi, pada akhirnya, semua tergantung kepada keputusan Sang Malaikat Agung.

Para malaikat masih berdesakan mengerumuni jasad Aniela yang sekarang ditangisi oleh sang kekasih yang telah membunuhnya. Tangisan Azrael terdengar begitu menyayat hati siapapun yang mendengarnya.

Bisa dilihat jika Azrael sangat mencintai Aniela. Kemarahanlah yang telah menutup mata hatinya dan membuatnya melakukan kesalahan terbesar itu.

Sementara sang adik, Nathaniel yang sombong itu, hanya bisa terpaku melihat jasad Aniela.

Kenapa Aniela melakukan itu? Kenapa Aniela rela mati untuknya? Ia sudah membohongi dan menyakiti Aniela, tetapi wanita itu bahkan rela menerjang busur emas mematikan milik Azrael. Sebesar itukah cinta yang Aniela miliki untuk dirinya?

"Aku melihat apa yang terjadi di sini."

Gelegar suara Yang Agung itu membelah kerumunan malaikat seperti ketika Musa membelah Laut Merah. Semua menyingkir memberi jalan untuk Raphael, Sang Malaikat Agung, juga, ayah dari kedua malaikat yang bersalah itu.

Sebagai pemimpin Eyden, Raphael selalu tahu apa yang terjadi kepada para malaikat yang tinggal di sana. Fakta bahwa Raphael tidak segera muncul untuk memisahkan kedua anaknya yang berkelahi, menjadi pertanyaan bagi hampir semua malaikat yang ada di sana.

Apa mungkin, Raphael memang sengaja membiarkan semua ini terjadi? Apa Raphael sedang berniat untuk menghukum anak-anaknya sendiri?

Nathaniel bangkit dan menunduk hormat menyambut kehadiran ayahnya, sementara Azrael tetap menangisi jasad kekasihnya. Ia terlalu bersedih hati hingga tidak mendengar kedatangan ayahnya.

Di belakang Raphael, Lailah, ibu mereka, menatap Nathaniel dengan sendu, dan kedua bola matanya yang serupa milik Nathaniel itu, kini mengeluarkan bulir bening pertama ketika melihat putra sulungnya menangisi jasad sang kekasih.

Hati Nathaniel terasa nyeri melihat air mata yang mengalir dari pipi ibunya. Jika ada satu hal yang paling Nathaniel hindari di sini, itu adalah membuat sang ibu mengeluarkan air mata. Terlebih, dirinyalah yang menyebabkan semua itu.

Saat ini juga, rasanya Nathaniel ingin bersimpuh di hadapan ibunya dan meminta maaf atas air mata yang telah ia sebabkan.

"Apa yang kalian berdua pikirkan dengan bertengkar seperti itu?" tanya Raphael dengan raut muka marah. "Dan yang lebih buruk lagi, membunuh Aniela?"

Saat itu, Azrael menyadari kehadiran ayahnya, dan mendongak dengan mata berkilauan karena air mata. Butiran permata dari air mata Azrael, berkilauan di sekeliling jasad Aniela dan tubuhnya sendiri.

"Ayah, aku telah membunuh kekasih hatiku sendiri," ratap Azrael pilu sambil kembali menunduk dan memeluk Aniela yang tak bernyawa. Tangisannya kembali terdengar hingga membuat siapapun ingin menangis bersamanya.

"Kemarahanmu telah membutakan hatimu, Anakku."

"Aku berdosa besar, Ayah," ratap Azrael lagi.

Raphael berpaling dari putra sulungnya, menatap Nathaniel yang terpaku melihat Azrael menangis dan memeluk jasad sang kekasih.

"Puas dengan hasil kerjamu, Nathaniel?" tanya Raphael lembut, tetapi terdengar menyakitkan. "Ini yang ingin kau lihat? Kematian malaikat lain karena cintanya padamu?"

Kepala Nathaniel berpaling pada ayahnya. "Aku tidak tahu dia akan melakukan itu," bisiknya tak percaya, lebih kepada dirinya sendiri.

"Dan kau masih tidak percaya bahwa kita ternyata bisa mencintai makhluk lain sebesar itu? Bahkan meskipun Aniela tahu kau membohonginya?"

Sesuatu yang tidak familier, meresap ke dalam hati Nathaniel secara perlahan-lahan, tetapi begitu menyakitkan. Sakit, nyeri, dan terutama, rasa bersalah.

Seharusnya Aniela tidak perlu melakukan itu untuk dirinya. Seandainya tadi ia harus mati, itu mungkin memang sudah ajalnya. Aniela tidak perlu menjadi tamengnya.

"Aku..."

Nathaniel menelan ludah. Ia menatap tangannya yang masih bernoda darah Aniela yang berwarna merah terang. Tangannya gemetar, sekali lagi oleh rasa bersalah. Benaknya masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana mata Aniela membelalak menatapnya sebelum akhirnya tertutup untuk selamanya.

"Kalian berdua harus dihukum karena telah menyebabkan malaikat lain meninggal," sabda Raphael kemudian.

Azrael bangkit dengan cepat, menatap adiknya dengan marah. "Ini semua salahnya, Ayah! Dia yang harus menanggung semua kesalahan!"

Tangan Nathaniel mengepal mendengar teriakan penuh kebencian sang kakak.

"Kau yang membunuhnya!" teriaknya tak kalah marah. "Kau yang melesatkan busur panahmu ke jantungnya!"

Azrael menatapnya marah, bersiap untuk menerjang lagi tubuhnya, sebelum sang ayah kembali mengeluarkan suara menggelegarnya.

"Berhenti kalian!!" serunya keras hingga petir bergemuruh di langit Eyden.

Raphael adalah pemimpin yang baik hati dan dicintai oleh seluruh rakyat. Ia murah senyum, sabar, dan tidak pernah marah. Namun, kemarahannya sekarang terasa begitu menakutkan. Lailah bahkan menatap suaminya dengan terkejut dan mendekat untuk menenangkan suaminya.

"Kalian berdua harus dihukum karena kesalahan ini adalah kesalahan kalian berdua," lanjut Raphael lagi dengan nada bicara yang sudah diturunkan.

"Kau..." jemarinya menunjuk sang putra sulung, "aku akan mengirimmu ke neraka selama tiga ratus tahun. Kau harus merenungi kesalahanmu di sana, dan menyucikan hatimu lagi. Kau calon pemimpin Eyden, dan seorang pemimpin tidak boleh memiliki hati yang busuk oleh kemarahan, dengki, dan juga kebencian."

Azrael berlutut dengan patuh seraya menundukkan kepala. "Aku akan menerima hukumanku, Ayah."

Lalu Raphael kembali menatap putra bungsunya. Kepala Nathaniel terangkat dengan percaya diri. Dosanya tidak lebih besar daripada sang kakak. Nathaniel yakin jika ayahnya tidak akan memberikan hukuman yang lebih berat. Mungkin, ia hanya perlu berada di neraka selama seratus tahun dan setelah itu ia akan kembali ke Eyden.

"Dan kau, Nathaniel, kau akan turun ke bumi dan menjalani hukumanmu di dunia manusia."

The Cursed Angel (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang