#31

137 22 2
                                    

Kamar Rahasia

>> - - - - - - - - - - «» - - - - - - - - - - <<

“Kau sakit?”

“Aku baik-baik saja.” Balas Talisa sembari memindah tangan Draco dari dahinya ke atas meja.

“Dan itulah yang selalu kau katakana.” Daphne masih menggerutu di sampingnya. “Kau tak pernah jujur jika kau tak nyaman.”

“Ayolah, Daph. Ini tak sepenting itu.” Talisa mulai bingung bagaimana cara menyelesaikannya. Ia mulai memandang teman teman yang lainnya untuk mencari bantuan. Dan yang lain hanya mengangkat bahu.

“Oke, aku akan mengatakan semua padamu yang paling pertama. Jangan marah, oke?” Talisa membujuk Daphne dengan usaha terakhirnya. Tak ada lagi ide lain di kepalanya.

“Hanya padanya?” Blaise terkekeh.

Talisa langsung memandang Blaise dengan tajam, seperti bekata ‘DIAM’. Blaise tertawa sekali lagi.

“Janji?” Daphne menatap Talisa.

“Ya… pasti.” Talisa berusaha meyakinkan.

Draco menatap Talisa dan Daphne bergantian. “Kenapa kalian seperti ini?” Draco menatap aneh.

“Kau tak akan tau pertemanan antar Wanita.” Daphne mengejek. Suasana hatinya sudah terlihat sangat membaik.

>> - - - - - - - - - - «» - - - - - - - - - - <<

Talisa duduk di salah satu kursi dalam kantor professor Snape, sendirian. Ia harus menunggu professor snape yang masih pergi ke pertemuan guru.

Talisa melihat sekeliling, sangat menggambarkan siapa yang menghuni ruang ini. Gelap, hitam, murung, tetapi entah kenapa cukup rapi. Tapi ada satu hal yang bersinar dalam kumpulan warna hitam itu. Sebuah bunga lili putih hidup dengan subur di sebuah pot yang muram. Suatu hal yang kontras.

Talisa mendekati bunga itu. Sepertinya ini dijaga dengan sangat baik, dan mekar dalam waktu yang sangat lama.

“Jadi apa yang ia katakan?” Talisa tersentak kaget. Pertanyaan itu professor Snape layangkan tepat setelah ia masuk dalam ruangan dan memastikan pintu tertutup.

“Dia mengatakan saya membohonginya.” Talisa berucap dengan tenang. “Dan saya harus mengawasi anak keluarga Weasley.” Lanjutnya.

Professor Snape menunjukkan kebingungan dengan kalimat kedua. “Weasley?”

Talisa memberikannya kertas yang Megan sempat berikan sebelum mereka berpisah. Dan tanpa pertanyaan lagi, professor Snape membukanya.

Selain pemilik buku tuan, halangi yang lain!

“Dan buku itu ada di tangan Weasley.” Ucap professor Snape dengan datar.

“Jika ya, hanya dua orang yang mungkin. Percy Weasley atau Ginny Weasley. Yang lain terlalu normal untuk membuka ruang rahasia.” Talisa menyampaikan pendapatnya.

“Jika itu merujuk ke tuan, tentu saja semua ini tentang ruang rahasia.”

“Dari mana dia tahu bahwa pemilik buku adalah seorang Weasley?” Talisa masih belum memahaminya.

“Malfoy, tak lama ia dari manor mereka.”

Sejenak, suasana hening. Talisa menatap pria didepannya yang mengerutkan dahi. Dengan berhati hati ia bertanya. “Apa yang harus saya lakukan?”

Anak perempuan itu memandang penuh harap, pada satu-satunya orang yang bisa ia percaya dihadapannya.

“Lakukan, tapi jika membahayakan jangan lanjutkan.” Balas professor Snape. Dengan canggung, ia menepuk pundak Talisa. “Percaya instingmu.” Lanjutnya.

Fatum - Harry Potter FanfictTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang