Bab 13. Ternyata Sakit

371 16 4
                                    

Telepon kembali tersambung...

"Halo dek.. Sii... Sorry, menghubungkan yaa?" Ucap kak Adet.

"Iya kak. Jaringannya yah?" Tanya aku.

"Iya nih abis ujan disini jadi kayak gini jaringannya. Iya dek aku mau bilang sama kamu soal tadi. Kamu nggak pernah curiga mereka pulang malem, masa nggak pernah kayak gituan?" Ucap kak Adet kembali menjelaskan.

"Eemm nggak tau sih kak aku juga. Belum nanya kesana sana" Jawab ku.

"Coba kamu tanyain anjir dek, siapa tau Biwa emang bocah nakal" Kak Adet

"Ku rasa dia bukan cewek yang gitu deh kak" Aku.

"Iya makanya coba tanya, saran aku mah hahaha" Kak adet.

Tidak berapa lama percakapan selesai, karena aku malah jadi kepikiran kata kata kak adet di telpon tadi. Sekarang sudah saatnya ku pulang dari kerja, aku di jemput Biwa di halte. Walaupun Biwa hari ini sedang ada tugas kelompok, ia tetap lebih dahulu sampai di rumah dari pada aku. Dan Biwa biasanya memang selalu menjemput ku di halte tempat ku turun jika aku lelah berjalan jauh saat transit. Bahkan saat aku pulang malam pun dia tetap menjemput ku. Lalu saat sudah sampai rumahnya aku beres beres dan mandi. Ketika sudah sama sama duduk bersama, aku memeluknya. Belum juga seharian tanpa dia aku sudah begitu rindu, ku ciumi pipinya dan keningnya, dan Biwa membalas mencium bibir ku. Kami sama sama rindu. Ku lumat terus bibirnya sembari ku genggam jemarinya. Ku kecup perlahan jari-jarinya itu. Walaupun rasa penasaran di hati ku sama menggebunya, namun hati ku tetap yakin bahwa dia tidak akan melakukan apa yang kak Adet bicarakan tadi. Dan aku tidak ingin merusak moment ini dengan bertanya itu.

Saat aku tengah asik memandangnya dan mengelus-elus rambut panjangnya. Tiba-tiba handphone Biwa berdering, seseorang menelponnya. Namun di tolak oleh Biwa, aku tau ia tidak enak dengan ku.

"Angkat aja yang, nggapapa. Siapa tau penting" Ucap ku.

"Enggak ah nanti aja. Aku lagi mau berduaan sama kamu, kangen" Jawab Biwa.

"Emang siapa yang nelpon? Dia yah?" Tanya ku spontan menyebut DIA ke Biwa.

"Emmm iya" Jawab Biwa.

"Yaudah nggakpapa kalo mau telponan" Aku.

Tiba-tiba handphone Biwa kembali berdering.

"Yaudah sayang aku angkat dulu nggapapa?" Tanya Biwa.

"Iya sayang nggakpapa" Jawab ku.

"Nggak marah?" Tanya Biwa kembali.

"Enggakpapa, udah sana angkat dulu" Ucap ku sabar. Padahal hati ku perih.

Lalu di angkat telponnya oleh Biwa. Tapi Biwa pindah kamar. Dia tidak di samping ku saat telponan. Iya aku sudah beberapa kali juga sebenarnya mengetahui mereka sering telponan, tapi aku baru tau ternyata mereka ada hubungan. Setelah mereka selesai telponan Biwa kembali ke kamar dan memeluk ku erat, memeluk ku hingga pagi. Dan aku selalu senang di perlakukan seperti itu olehnya.

Beberapa bulan kemudian...

Hubungan Biwa dan Bagas makin dekat. Bahkan Biwa sempat bercerita Bagas akan berniat serius dengan Biwa setelah mereka menyelesaikan kuliah mereka. Namun aku yakin Biwa tidak seperti itu. Aku mengerti kondisi Biwa saat ini, keluarga, ekonomi, jati diri. Itu belum ia temukan seutuhnya. Sungguh tidak mungkin Biwa akan mengiyakan ajakan Bagas untuk menikah. Rasanya setiap hari mereka bersama, telponan dan chattingan. Terkadang Bagas ke rumah, dan saat Bagas ke rumah, aku di kamarnya sendiri. Menunggunya dengan rasa kesal dan sakit. Mereka tertawa riang saat berbincang, sedangkan aku selalu menahan tangis ku di kamar mendengar itu semua. Terkadang ada perasaan aku ingin pergi, pergi dari kondisi ini. Karena ternyata menyakitkan sekali melihat dan merasakan ini semua.

TAK INGIN BERAKHIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang