William memperlihatkan cara memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci kepada Zee. Gadis itu menghela nafas jengah, tidak tertarik untuk melakukannya. Ini bukanlah sesuatu yang ingin dia lakukan. Zee belum pernah melakukannya sepanjang hidupnya.
"Sekarang giliranmu!" ujar William dengan sedikit kesal.
Zee menggelengkan kepala, tidak mau melakukannya. "Aku tidak mau!"
"Zee ...,"
"Kau yang selalu melakukannya setiap kali pakaianku kotor. Aku akan menemanimu," tawar Zee, mencoba memberikan ide yang menurutnya brilian.
Pekerjaan itu sudah dikuasai oleh William. Mengapa tidak dia saja yang melakukannya? Mengapa Zee harus ikut campur?
"Aku akan menunjukkan cara mencuci pakaianmu sendiri!"
"Mengapa tidak kau saja yang melakukannya?" Zee menghela nafas frustasi. Seharusnya William yang merasa frustrasi, tetapi gadis itu tampaknya mengungkapkannya lebih dulu.
"Kau harus mandiri. Tidak ada lagi yang akan membantumu sekarang!"
"Kau adalah suamiku. Kau harus melakukannya untukku!" Zee menolak dengan keras kepala.
"Aku bukan suamimu!"
"Kau adalah suamiku! Kita telah berjanji di hadapan Pastor dan Tuhan," Zee mengingatkannya. "Kau telah berjanji di hadapan Tuhan bahwa kau akan menjagaku. Kau juga berjanji untuk mencintaiku!"
William merasa kesal. Mengapa semua kejadian di hari sial itu begitu jelas teringat di pikiran Zee? William merasa bosan mendengarnya.
"Waktu itu hanyalah pura-pura!" tegasnya.
"Tidak ada yang pura-pura di hadapan Tuhan!"
"Baiklah! Kita bisa bercerai saja!"
"Apa yang telah disatukan oleh Tuhan, tidak bisa dipisahkan oleh manusia!"
"Hah!" William mengacak rambutnya frustasi. "Aku akan membawamu ke panti sosial!" ancamnya.
"Kau sudah berjanji pada kakek untuk menjagaku selamanya! Kita tidak akan berpisah lagi!" Zee mengingatkannya, mungkin saja William lupa.
"Baiklah!" William akhirnya menyerah. "Wahai, istriku, aku akan mengajarimu cara mencuci pakaian. Apakah kau mau bekerja sama denganku?"
"Tidak!" Zee menolak dengan tegas.
"Baiklah! Kau tidak perlu mengganti pakaianmu. Pakai saja sampai kotor."
"Kau yang akan mencucinya, Will. Aku akan menemanimu," sang gadis keras kepala mengoreksi, bahkan menyebutkan dirinya tidak lagi dengan nama.
William menghela nafas panjang dan melanjutkan memasukkan pakaian-pakaian Zee ke dalam mesin cuci. Zee duduk di samping William sambil mengangkat salah satu pakaiannya.
William tidak ingin bertengkar lagi. Itu hanya akan membuang energi sia-sia. Dia menerima bantuan Zee dengan sabar dan memasukkan pakaiannya ke dalam mesin.
Setelah menutup mesin cuci, Zee berdiri dan mulai menekan-nekan tombol yang menarik perhatiannya.
"Ini untuk apa?" tanya Zee penasaran. "Aku ingin menekannya."
"Ya, tekan saja." jawab William.
Zee mulai menekan-nekan semua tombol dengan senyum bahagia, terutama ketika mesin cuci mulai berputar di dalamnya.
"Ini menyenangkan!" teriak Zee sambil memandang William.
"Menyenangkan?" ejek William dengan senyum miring. "Maka sekarang kau harus mencuci pakaianmu sendiri!"