William memeluk pinggang Zee sedang menunggu di depan pintu rumah George. Mereka di undang oleh George makan malam perayaan natal secara khusus.
Tidak lupa membawa kue natal sebagai buah tangan untuk George. Pria itu senang memasak, dia yang selalu mengundang William dan Zee ke rumahnya.
"Hallo," George menyambut Zee dan William dengan semringah dan langsung mengajak keduanya masuk.
"Selamat natal, George! Kami membawakan ini untukmu." ucap Zee sembari memberikan kue natal untuk pria itu.
"Terima kasih, Zee. Selamat natal." balas George dengan senang hati menerima pemberian gadis itu.
William dan Zee masuk ke rumah George. Aroma makanan lezat menusuk penciuman keduanya.
Mereka melepaskan mantel masing-masing dan menyampirkan di gantungan. Lantas mengikuti George ke ruang makan.
Makanan telah tersaji di atas meja yang di tutup bahan stainless. George mempersilakan mereka duduk dan segera menyantap makan malam.
Menu daging sapi terbaik, diolah akan kaya rempah-rempah. Dipadu dengan minuman anggur merah.
Zee dan William duduk berdampingan, sedangkan George berada di seberang pasangan itu. George menjelaskan makna masakannya sebagai perayaan yang hangat untuk menyambut tetangga setelah sekian lama dia hidup hanya sendirian di daerah itu.
Mereka menyantap makan malam dengan khidmat. Dibarengi obrolan santai dan hangat. George menceritakan kemana saja dia pergi selama beberapa hari ini.
Pria itu mengunjungi rumah teman lamanya. Mereka menikmati natal dan bernostalgia dengan masa lalu. Mereka tidak bertemu cukup lama. George mendapatkan kontak teman masa mudanya baru-baru ini.
Mereka bergantian bercerita. Saatnya giliran Zee, dia sangat antusias.
"Kami pergi ke kota dua hari setelah natal." jelas Zee memulai.
"Oh iya?"
"Ya," Zee mengangguk membenarkan. "Kami pergi ke Katedral untuk berdoa dan membuat pengakuan dosa untuk William. Dia memaksaku memasukkan mi-,"
Zee berhenti bicara karena William menjatuhkan pisah dari tangannya dengan sengaja.
"Biarkan aku mengganti sendok baru," Zee bangkit dari kursi dan mengambil pisau baru dari laci.
"Terima kasih, Zee." ucap William ramah.
George terkekeh dan mengangguk setuju. Zee telah mengetahui seluk beluk rumahnya. Mereka bahkan sering makan bersama saat William tidak ada di rumah.
Ketika Zee kembali, William melanjutkan cerita Zee agar gadis itu tidak melanjutkan kalimatnya tadi.
"Aku tidak menyangka bahwa Zee adalah anak Tuhan. Dia bernyanyi dengan suara merdu." jelas William.
"Benarkah?" George berbinar senang. "Kurasa kau harus bernyanyi di depan kami. Aku ingin mendengar suaramu."
"Baik. Akan kulakukan." Zee mengangguk mantap. Dia akan menunjukkan bakatnya. Dia menyerahkan pisau pada suaminya dengan senyum.
"Terima kasih, Zee." gumam William sembari menggunakan pisaunya.
"Dengan senang hati, Will." jawab Zee lalu duduk di sampingnya.
"Kurasa dengan pianika." lanjut George.
"Kebetulan kami membawanya. Aku akan memainkannya nanti." Zee semakin bahagia. Dia memang sengaja membawa pianika hadiah dari William untuk dipamerkan pada pria itu. Sekalian menunjukkan kemampuannya memainkan pianika. Selama ini George hanya mendengar cerita Zee saja tanpa bukti kongkret.