Zee memandang serius bangunan di depannya. Rumah sederhana yang sudah tua dan dikelilingi rumput liar. Rumah yang sudah lama tidak dihuni. Beberapa rumput bahkan sampai menutupi jendela.
Perjalanan panjang. Setelah mengisi perut di restoran cepat saji, keduanya sampai di halte. Menggunakan transportasi umum dan sepanjang jalan keduanya ketiduran.
Zee mengira mereka telah sampai ketika dia bangun. Sayangnya, perjalan panjang itu belum usai.
Berjalan kaki sekitar lima mil untuk sampai di rumah tersebut. Zee nyaris menyerah, namun saat ini dia bersama William. Zee kembali semangat, meskipun kakinya akan patah.
"Kita akan tinggal di sini?" tanya Zee memastikan. Menoleh pada William yang melakukan hal yang sama. Memandang rumah baru mereka dengan wajah gusar.
"Ya. Bagaimana menurutmu?" William membalas pandangannya.
Zee menemukan sebuah rumah tidak jauh dari sana. Setidaknya mereka memiliki tetangga. Dia tersenyum lebar. "Zee menyukai rumah ini." ucapnya polos. Bergelayut di lengan William dan senyum-senyum bahagia.
William tidak yakin. Dia meringis. "Kau yakin? Dari luar saja rumputnya menutupi jendela."
Kondisi rumah itu sangat parah. William yakin, tidak ada gadis yang bersedia tinggal di sana.
Tentu saja, Zee bukan termasuk di dalamnya.
Menggeret koper Zee memasuki rumah tua itu. William membuka pintu dengan kunci yang telah dia kantongi.
Pertama-tama, mereka disambut kelelawar terbang bebas dan nyaris mengenai kepala William jika dia tidak menangkis sigap.
Lalu suara-suara tikus berlarian ke sana kemari. Sarang laba-laba yang tebal seperti sebuah perangkap ada di setiap sudut.
Genangan air dari atap yang bocor. Beberapa barang seperti botol-botol dan kerangka lilin teronggok menyedihkan tertutupi debu.
Dinding kusam dan bekas tetesan-tetesan air menghiasi tiap sudut. Lukisan-lukisan alam tampak menyeramkan dibalut sarang laba-laba. Kaca menguning dan hitam di beberapa bagian.
Zee mulai meragukan keputusannya tentang menyukai rumah itu. Sungguh, rumah itu sangat menyeramkan.
Dia memeluk William dan merapatkan tubuh mereka. William menoleh padanya, dia pikir Zee tidak memiliki rasa takut.
"Apakah ada banyak binatang-binatang di dalam sana?" tanya Zee merinding.
"Setelah dibersihkan tidak lagi."
"Kau yakin?"
"Tentu. Kita tidak memiliki waktu istirahat jika kau tidak ingin binatang-binatang itu tetap bersarang di sini."
"Wills," Netra Zee berkaca-kaca.
"Kau menyesal?" tanya William setengah mengejek.
"Tidak!" Zee menyela cepat. "Zee hanya takut."
"Baiklah, mati kita bersihkan tempat ini."
William meletakkan koper di sembarangan tempat. Mengecek tiap ruangan rumah yang diikuti Zee dari belakang.
Zee menahan napas ketika dia tidak sengaja menginjak ranting tidak tahu mengapa ada di sana. Suara-suara tikus saling bersahutan. Mereka berlari-larian, Zee semakin merinding dan menjerit. Menyembunyikan wajahnya di punggung lebar William.
William terkekeh, dia menunduk dan melihat tangan Zee pucat.
"Tenanglah. Itu hanya tikus-tikus kecil."
"Mereka sangat banyak!" Zee menjerit tidak tahan lagi. Bulu romanya berdiri, suara-suara cicit-cicitan itu begitu menyeramkan.
"Kita harus segera membersihkan tempat ini." ujar William sekali lagi. Melonggarkan kedua lengan Zee di pinggangnya agar dia bisa bergerak bebas. Kemudian melanjutkan memeriksa ruangan.