Henry dan Will adalah sahabat karib sejak mereka bersekolah di SMA. Persahabatan mereka telah terjalin sejak lama dengan baik dan rukun. Will memiliki kepercayaan yang sangat besar pada Henry, sampai-sampai ia mempercayakan istrinya kepada sahabatnya tersebut.
Henry tidak keberatan dengan kepercayaan tersebut. Ia telah kehilangan orang tuanya dalam sebuah tragedi kecelakaan sepuluh tahun yang lalu. Sejak saat itu, Henry menjadi bagian dari keluarga Will.
Keduanya memiliki nasib yang serupa. Ibu Will mengalami pendarahan hebat saat melahirkan, dan sembilan belas tahun kemudian, ayahnya meninggal karena gagal jantung.
Meskipun berbeda dalam banyak hal, Will dan Henry masih dapat bersatu. Will adalah pria petualang yang cenderung pemalas, sementara Henry adalah sosok yang hangat dan pekerja keras.
"Aku sudah selesai," ucap Will sambil mengusap mulutnya dengan serbet.
Henry dan Zee menoleh ke arahnya. Keduanya masih sibuk dengan makanan di piring masing-masing.
"Aku akan pergi," ujar Will tiba-tiba.
"Ke mana?" tanya Zee, mengerutkan keningnya. Ia berhenti memotong daging saat Will menyampaikan niatnya.
"Aku memiliki sedikit urusan. Aku tidak akan pulang malam ini," ujar Will dengan tegas, memberitahukan Zee agar tidak menunggunya.
"Aku ikut," sahut Zee, menyela. "Aku ingin pergi bersamamu."
"Tidak! Ini urusan penting," tolak Will dengan tegas, menatap Henry sejenak.
Henry memilih untuk diam, membiarkan mereka menyelesaikan urusan suami-istri mereka sendiri. Will merasa sedikit kesal, ia tidak mendapat dukungan isyarat dari Henry.
"Tinggallah di sini saja," ujar Will sekali lagi.
"Aku tidak mau!" balas Zee dengan keras kepala. Ia segera mengakhiri makanannya, tidak ingin ditinggalkan oleh Will. "Sudah selesai. Ayo pergi sekarang."
Will terdiam, sepertinya Zee telah menjadi lebih keras kepala dari sebelumnya. Ia merasa sulit untuk meninggalkannya lagi.
"Baiklah! Selesaikan makananmu, aku tidak akan pergi," kata Will.
"Kau bersungguh-sungguh?" tanya Zee dengan girang. "Kau tidak akan pergi?"
"Tidak," jawab Will makin kesal.
Zee tersenyum lebar dan kembali mengambil garpu serta pisau. Dia memotong daging sambil berkata, "Zee akan melanjutkan makan. Semuanya akan Zee habiskan." Ia dengan semangat memasukkan potongan daging ke mulutnya.
"Bagus, Zee!" ucap Henry memberikan dukungan seperti biasa.
"Kau juga harus menghabiskan makananmu, Henry," seru Zee.
"Tentu saja."
Henry dan Zee tertawa bersama. Mereka sama-sama bersemangat untuk menghabiskan makanan di piring masing-masing. Sementara Will hanya memandang keduanya, menyimpulkan bahwa Henry dan Zee telah hidup rukun selama ini.
Setelah makan malam, Henry dan Will berbicara di atap sambil menikmati minuman. Mereka sudah lama tidak berbincang seperti ini. Kali ini, Will telah membuat keputusan yang tepat dengan tidak pergi bersenang-senang.
Mungkin ini adalah pertemuan terakhir mereka. Besok, setelah menyelesaikan urusannya, Will akan pergi lagi.
"Aku sudah menjual perusahaan," jelas Will.
"Kau serius dengan keputusan ini? Apa kau tidak mau mempertimbangkan lagi? Perusahaan ini merupakan hasil kerja keras kakekmu, Jorell," tanya Henry, berusaha memahami alasan di balik keputusan Will.
