Anya Chelzea

43 12 9
                                        

Suara pukulan raket dan kok saling bersautan. Di gedung olahraga Asrama Atlet Melawa khusus cabang badminton terasa sangat ramai.

Di court paling pojok ada sepasang sabahat yang tengah beradu skill badminton, Anya dan Hazel, dengan seorang laki-laki paruh baya bertindak sebagai pelatih sekaligus wasit pertandingan.

Anya, gadis pirang dengan kucir kudakuda sepunggung, nampak ngos-ngosan sembari sesekali mengelus perutnya menahan keram. Pukulan nya nampak melemah dari biasanya. Tak ada pilihan, gadis itu terus bergerak memukul benda putih berbulu itu.

Sayang, Hazel dengan mode on fire langsung menghabisi Anya dengan smash menukiknya.

Permainan selesai.

10-25. Dan Hazel pemenangnya.

Anya langsung duduk di lantai. Sudah iya duga. Kali ini dia kalah telak.

"Anya? Lu nggakpapa?" Tanya Hazel panik.

Anya tersenyum lemah sembari mengangkat jempolnya. Hazel mengulurkan tangan dan membantu Anya berdiri. Anya menghela napas berat, rasa letih latihan terasa 100 kali lebih berat.

"Pukulan mu sangat lemah Anya," Ucap si pelatih datang mendekat. Toni namanya.

"Perutku sakit coach. Hari pertama haid," Balas Anya.

"Pantas payah banget hari ini," Sela Hazel terkekeh.

Toni mengangguk paham. "Yah, kau tadi banyak celah. Pokoknya jaga kesehatan Anya, apalagi dipertandingan. Setelah ini kau ke unit kesehatan minta obat pereda sakit."

"Baik coach."

Toni pun pergi karena ada urusan lain. Anya dan Hazel membereskan peralatan bermain mereka. Anya tetap ngotot ikut membersihkan walau Hazel sudah menyuruhnya untuk pergi ke unit kesehatan.

"Em, Anya?" Suara laki-laki menyela kegiatan dua gadis itu.

Yang dipanggil Anya, yang melegok Hazel. Sedangkan Anya malah melengos pura-pura tak kenal dengan laki-laki itu.

"Anya cantik! Tengok sini dong!" Panggilnya tak pantang menyerah.

Anya menghela napas menyerah. Ia melegok laki-laki yang berada 1 meter dari tempatnya berdiri. "Kenapa Rafael?"

Rafael Wiyongko. Laki-laki setahun lebih tua dari Anya dan Hazel, sudah sejak lama memendam rasa kepada gadis pirang itu. Tapi yang namanya Anya Chelzea, mana mau memikirkan hal berat selain badminton.

"Kau ada waktu besok?" Tanya Rafael sembari senyum manis.

Anya malah membalasnya sinis. "Nggak ada. Anya sibuk!"

"Kalau besoknya?"

"Sibuk."

"Besoknya lagi?"

"Sibuk."

"Jadi, kapan kamu ada waktu?"

"Gue nggak ada waktu kak Rafael!"

Hazel mendekat dan menengahi keduanya. "Maaf kak. Anya lagi PMS nih. Kita duluan ya, mau ke unit kesehatan." Ia menarik Anya dengan cepat lalu menyambar tas raket milik keduanya.

Meninggalkan Rafael yang berdecak kesal. Tapi sudah memiliki niat mengajak kencan Anya besok. Mau tidak mau.
.
.
.
.
.
"Anya, kak Rafael kasih ini nih ke kamu!"

Anya berdecak kesal. Bukannya kasih makanan, Hazel malah memberi surat dari Rafael. Tak perduli, gadis itu hanya mengambilnya lalu dilempar keatas kasur.

"Gitu banget sama kak Rafael," Komentar Hazel. Ia pun duduk di meja belajar miliknya.

"Kalau nggak digituin, dia nggak bakalan nyerah," Balas Anya lalu bangun dan bersandar di dinding.

Kamar asrama mereka memiliki dua meja belajar, dua lemari, dan dua kasur bertingkat. Kasur yang Anya pilih adalah dibawah karena lebih nyaman. Kalau Hazel, dia tipe anak santai dan menurut saja.

"Dia lumayan tuh. Anak dari pemilik perusahaan Lahap, ganteng, dan baik. Kurang apa dia coba?"

"Dia nggak kurang. Aku yang kurang."

"Ha?"

"Aku kurang perduli sama cinta. Di list hidupku. Nikah itu tidak ada. Gue mau main bulutangkis sampai mati."

Hazel geleng-geleng kepala. Ada ya, orang yang nggak mau nikah dan malah milih main bulutangkis sampai mati. Semoga saja itu hanya gurauan Anya saja.

"Yah, setidaknya dia nggak tau kalau gue tuna wisma yang numpang GOR umum kalau lagi libur," Kata Anya santai.

"Sayangnya. Dia udah tahu."

"Apa!"

"Dia sudah tahu Anya. Dia tahu kalau kau anak yatim piatu yang kabur dari panti dan numpang di GOR umum kalau lagi libur."

Speechless. Bagaimana bisa dia tahu? Mau menuduh, tapi Anya yakin kalau Hazel bisa dipercaya.

"Dia lebih kayak terobsesi nggak sih? Sampai segitunya cari tau soal elo. Tapi romantis juga," Kata Hazel meleleh.

"Kalau romantis, makan tuh Rafael! Gue ikhlas lahir batin!" Balas Anya sarkas.

Hazel hanya cengegesan lalu teringat sesuatu. "Oh iya. Gue mau ke rumah uncle Jo sama aunty Kelly. Katanya dia jadi guru mengemudi."

"Itu bagus."

"Dia nyuruh gue ajak elo."

Anya kaget. "Gue? Mau ngapain?"

Hazel hanya terkekeh pelan. "Udah ikut aja. Nggak bakalan rugi."

Anya memicingkan matanya curiga. "Perasaan gue nggak enak."

"Curigaan mulu. Ok lah itu, hitung-hitung kabur dari kak Rafael jika dia tiba-tiba dateng ke GOR umum."

"Gue masih bisa kabur."

"Disana ada banyak makanan."

"Ok deal!"

Hazel tersenyum menang. Tak susah membujuk seorang Anya Chelzea. Dikasih makanan, dia akan langsung bergerak. Tapi beda cerita kalau diajak kencan, mau disogok makanan sebanyak apapun tak akan mau.

Mungkin dia akan nikah dengan raket bulutangkis nantinya.
.
.
.
.
Golden and Blue.
Story by assitami.

Tap bintang biar author nya semangat⭐

Tbc

Golden and BlueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang