Hari keenam. Tepat juga hari sabtu. Sebelum Anya pergi dengan Chiko, ia jogging dengan mengajak Lona. Tadinya Lona menolak, tapi karena Anya ingin minta pendapat dengannya.
Mau tak mau Lona setuju.
Tak seperti ekspetasi. Anya sudah berada cukup jauh dan Lona hampir pingsan mengejarnya. Butuh 5 menit untuk mengejar gadis calon atlet itu.
"Lama sekali," ucap Anya ketika Lona datang.
Asisten dari Angel itu tersenyum sinis. "Lama? Kau yang berlari terlalu cepat! Kakimu itu terbuat dari apa? Kayu dan batu? Lari mu sangat tidak masuk akal!"
"Itu masih biasa Lona. Kau saja yang jarang berolahraga!"
Lona menyerah. Ia memilih duduk di pinggir jalan, mengatur napas dan meluruskan kaki. Anya pun memilih melakukan hal yang sama, cuma bedanya Anya masih nampak biasa.
"Apa atlet harus berlari seperti itu? Mereka makan apa!" pekik Lona, napasnya sudah membaik.
"Iya. Untuk mengimbangi kecepatan lawan dan kalau bisa kita harus lebih cepat. Stamina nggak boleh kendor," balas Anya.
Lona melirik Anya. "Bangga sekali ya kamu. Setiap berkaitan dengan atlet, nada bicara mu berubah."
Anya mengerut tak mengerti. "Maksudnya?"
"Bangga. Kau juga selalu tersenyum."
Gadis itu mengangguk paham. "Yah, sejak kecil aku ingin diakui oleh orang. Sampai suatu hari, aku lihat pertandingan bulutangkis internasional. Atlet itu benar-benar hebat, ketika menang semua orang menyambutnya. Sejak saat itu, aku ingin menjadi atlet."
Lona menyimak dalam diam. Gadis yang ia cap kampungan ini ternyata mempunyai mimpi yang besar.
"Aku dari panti asuhan. Aku kabur dan keajaiban bisa masuk ke Asrama Atlet Melawa. Mangkanya aku tak boleh gagal jadi atlet, aku nggak mau kembali ke panti lagi," sambung Anya yang mengundang simpati Lona.
Lona teringat sesuatu. "Kau dari panti kan. Kalau boleh tau, daerah mana panti itu?"
"Panti Kasih Yatna, panti daerah Itya dekat pantai Yatna."
Bagai tersambar petir, Lona membeku ditempat. Berkali-kali ia mengatakan dalam hati kalau itu hanya kebetulan. Perkataan ayah Lona terus berputar-putar di kepalanya. Seperti dejavu.
"Kenapa?"
Lona menggeleng pelan. "Tidak ada apa-apa. Lebih baik kau ceritakan tentang Chiko dan apa rencana mu."
"Oh iya. Jadi .... "
.
.
.
.
.
"Tumben nggak pake warna biru. Biasanya pake unggu," tanya Chiko heran.Anya memperhatikan tampilannya. Sebenarnya dia suka pakai baju warna apa saja, pakai unggu tak masalah, hari ini saja dia ingin pakai baju warna biru. Angel juga begitukan? Baju ini pun ada ditumpukan baju Angel yang lain.
"Memang nya kenapa? Aneh ya gue nggak pakai unggu?"
Chiko menggeleng pelan. "Nggak. Cantik kok."
Bagaimana tidak cantik? Mini dress selutut biru dengan flatshoes biru dan juga bandana biru yang mencolok di rambut pirang nya. Apalagi pacarnya itu tak sejutek dulu. Makin cantik kalau dipandang.
Chiko membukakan pintu untuk Anya. "Silahkan my lady."
"Terima kasih," ucap Anya ringan lalu masuk kedalam mobil.
Hati pacar dari Angel itu semakin berbungga-bungga. Setelah menutup pintu mobil, Chiko langsung berlari menuju kursi pengemudi. Dengan senyum dirinya melirik Anya. Sedikit kecewa karena gadis itu sudah memasang sabuk pengaman, padahal dirinya ingin romantis dan memakaikannya.
"Ayo jalan! Kita mau kemana?" ucapan Anya menghilangkan senyum Chiko.
Dengan polos dirinya menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. "Nggak tahu. Aku terlalu senang sampai lupa mau kemana."
Anya menghela napas. "Yaudah kita ke bioskop aja. Kita nonton film."
"Baiklah!"
Mobil melaju dengan Chiko yang mengendarai. Diam-diam Anya memperhatikan Chiko. Sebenarnya dia umur berapa sampai berani mengendarai mobil di jalan raya? Hazel yang sudah mahir saja masih belum berani. Apa dia tidak takut ditangkap?
Pusing memikirkannya, Anya memilih bungkam dan tak perduli. Toh dia juga sempat membonceng Mateo dan tidak di tangkap.
Setelah 30 menit berjalan dan tidak ada percakapan apapun, dua sejoli itu telah sampai di Melawa Cinemaplex. Anya pikir mereka akan di Melawa Town Square karena kemarin dirinya melihat ada poster film dan panah menuju bagian cinema.
"Ayang mau nonton apa? Horor? Romantis? Drama .... "
"Action. Kita nonton itu," jawab Anya cepat. Tak protes, Chiko mengangguk semangat.
Keduanya turun secara bersamaan. Chiko hendak menggandeng tangan Anya, tapi ditolak secara halus. Tak marah, Chiko tetap tersenyum maklum. Tidak sekarang, mungkin nanti Angel alias Anya ini mau mesra dengan dirinya.
Anya disuruh duduk disalah satu kursi dekat loket tiket. Sementara cowok itu mengantri tiket film karena antriannya panjang bukan main.
Sebenarnya Anya terkesan dengan sikap Chiko. Baik, lembut, perhatian dan full effort. Kalau seingat Anya, Chiko ini pacar pertama Angel. Jadi kenapa anak itu malah menduakan Chiko? Dirinya menjadi kasihan dengan Chiko.
"Apa gue batalin aja mutusin Chiko?" gumam Anya sembari melihat Chiko diantara antrian yang ingin melihat film. "Dia baik banget. Gue nggak bisa, gue nggak tega."
Tiba-tiba saja tangan Anya dingin. Beginilah kalau ia merasa gelisah dan takut. Mau tak mau Anya harus melakukan ini agar bisa hidup tenang dan tidak terbayang-bayang Angel lagi.
"Maaf lama. Ternyata banyak banget yang mau nonton Dimensi Kota Robot. Untung dapat tiketnya." Chiko datang dengan dua tiket ditangannya.
Anya mengangguk. "Iya. Nggakpapa. Jam berapa mulainya?"
"5 menit lagi. Kita langsung ke teater aja."
Chiko menawarkan untuk membeli popcorn, tapi Anya hanya menggeleng tak mau. Teater 2, tempat diputarnya film Dimensi Kota Robot. Ruangannya seperti yang Anya bayangkan. Kursi merah berderet dengan layar besar didepan.
Ini pertama kali Anya menonton film. Selama ini dirinya hanya mendengar dari cerita teman-temannya. Mendengar betapa empuknya kursi bioskop, mendengar betapa besarnya layar bioskop, dan betapa menyenangkan nya menonton dibioskop.
Memang menyenangkan.
Anya dan Chiko duduk dipinggi dekat tangga naik. Baguslah. Karena begitu film berakhir, Anya akan memutus Chiko lalu berlari keluar.
"Kenapa ayang tiba-tiba pengen nonton film action? Ayang suka film Korea kan?" tanya Chiko sebelum film diputar.
"Lagi pengen aja."
Film pun dimulai. Semua orang yang ada di bioskop menutup mulut agar tidak mengganggu. Atmosfer bioskop memang luar biasa! Suaranya, adegan film, rasa tegang nya juga berbeda ketika Anya menonton dari televisi.
Robot-robot saling berkelahi untuk merebutkan wilayah masing-masing. Yang Anya terkesan adalah keberanian tokoh utama yang masuk ke dimensi para robot dan membela yang benar. Film 120 menit yang mengesankan!
"Bagus banget!" pekik Anya antusias.
Chiko tersenyum. Ia bahagia melihat kekasihnya itu bahagia. Walau dirinya tidak terlalu menikmati filmnya tadi.
"Udah selesai nih yang. Kita mau kemana lagi?"
Ok ini dia.
Dengan mantap, Anya menatap Chiko. "Sorry Chiko. Mulai sekarang, kita putus!"
.
.
.
.
.
Golden and Blue.
Story by assitami.Follow akun ini biar nggak ketinggalan ceritanya.
Tbc

KAMU SEDANG MEMBACA
Golden and Blue
Genç KurguJadi Atlet itu menyenangkan, tapi tidak lebih menyenangkan dari menjadi orang kaya. Itulah yang Anya pikirkan. Setiap hari berhayal bisa menjadi orang kaya dan hidup enak. Hingga suatu hari ia menabrak Angel menggunakan mobil. Sebagai ganti rugi, A...