Chapter 21 : Who Am I Now?

364 40 15
                                    

"Did you have to do this?
I was thinking that you could be trusted"
[Bad Blood-Taylor Swift]


***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***


Dua hari berlalu, tetapi situasi antara Harsa dan Gara tak juga membaik. Keduanya enggan berbicara karena masih menyimpan segudang emosi dalam dirinya masing-masing. Hal itu membuat Jaffan kebingungan harus berbuat apa. Dia bahkan tak tahu apa penyebab adanya perang dingin di antara kedua sahabatnya karena entah Harsa ataupun Gara enggan berbicara padanya. Bertanya pada Ardhanpun, Jaffan rasa percuma sebab dia yakin Ardhan juga sama tak tahunya dengan dirinya.

"Kantin?" Jaffan bersuara begitu bel tanda istirahat berbunyi.

"Gue nyusul, lo duluan aja," sahut Harsa.

Jaffan menghela napas jengkel. "Lo berdua tuh sebenernya kenapa, sih? Kalian ngeributin apaan sampe pipi lo lebam kayak gini? Sadar gak sih kalian bikin gue gak nyaman? Gue juga bingung harus ngapain kalo salah satu dari kalian gak ada yang mau jelasin."

Harsa menghembuskan napasnya pelan. "Gue gak apa-apa. Gue cuma mau kumpulan dulu sama tim basket. Kebetulan Coach Sandi dateng ke sini."

"Sa, please. Lo lupa sama janji-janji kita sebelumnya? Jangan ada yang disembunyiin di antara kita. Please ... kalo lo kayak gini, gimana kita mau capai mimpi kita bareng-bareng?" Jaffan menundukan kepala. Air matanya nyaris jatuh, hatinya kembali sakit membayangkan mimpi buruknya waktu itu.

"Lo lupa juga kalo sekarang gue lagi ngeraih salah satu impian kita?" cetus Harsa. "Jadi, stop over-think about everything. Sekarang, sana lo ke kantin aja, gue mau ke ruang olahraga."

Belum juga Jaffan meresponnya, Harsa sudah berlalu lebih dulu. Ponselnya terus saja bergetar oleh puluhan pesan grup klub basket yang masuk. Di tengah jalan, langkahnya sempat terhenti beberapa sekon melihat eksistensi Gara. Keduanya beradu tatap dan diam membisu. Keduanya juga memasang wajah datar. Lalu getaran pada ponselnya menyadarkan Harsa untuk melanjutkan langkah. Pun Harsa mendelikan mata, melalui Gara begitu saja seolah mereka tak pernah kenal.

Di tempatnya, Gara masih memasang wajah datarnya. Meski pada dasarnya Gara memang seperti itu, tapi sebenarnya dia tertegun dengan sikap Harsa barusan. Dan juga, memar di wajah sahabatnya itu membuat Gara merasa bersalah. Sekeras itu, ya, Gara memukulnya kemarin? Dia pikir, rupanya Harsa masih kesal padanya. Tapi bagaimana pun, Gara lebih kesal lagi dengan Harsa yang sangat keras kepala itu. Tak mau memusingkan sifat Harsa, Gara melanjutkan langkahnya menuju IPS-1 untuk menjemput Jaffan.

Sahabatnya masih duduk di kursinya, menunduk. Pun Gara melangkahkan kaki mendekat ke arah Jaffan.

Jaffan menyadari keberadaan seseorang di depannya. Pemuda itu mendongak, mendapati Gara yang berwajah dingin.

"Kantin?"

Jaffan mengusap wajahnya, lalu menghembuskan napas panjang sebelum menganggukan kepala.

***

ETERNITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang