I wish that I look after you
I wish I stay until your eyes closed
(Last of the Whisky-James Arthur)
***Sudah sekitar dua puluh menit Jaffan berdiri di depan pintu yang tertutup rapat itu. Setiap kali tangannya terangkat untuk mengetuk, keraguan kembali menyelimuti dirinya. Dia bingung harus mulai menjelaskan dari mana. Bayangan betapa kecewanya Ardhan dalam kepalanya membuat hatinya tak tega. Dan Jaffan takut Ardhan membencinya.
Ini semua memang salah dirinya. Harusnya dia memberitahu Ardhan hari itu juga. Tetapi dia terlalu sibuk dengan lukanya sendiri. Kini, dia menyesal.
Jaffan tersentak mendengar suara pintu terbuka. Jantungnya berdetak keras mengantisipasi orang yang membuka pintu itu.
“Jaffan?" ujar pria paruh baya yang memiliki fitur wajah yang sama dengan sahabat Jaffan itu. keningnya berkerut melihat eksistensi Jaffan yang sudah berhari-hari tak kelihatan.
Yang dipanggil menelan salivanya susah payah. Ia berusaha tersenyum dan tak menatap mata ayah Ardhan itu.
Melihat gestur pemuda itu tampak tak nyaman, ayah Ardhan tersenyum lalu membawa Jaffan masuk sebelum memanggil anak satu-satunya itu. Tak lama setelah pria paruh baya itu melenggang pergi, bunda dari Ardhan itu muncul dari arah dapur, tersenyum lega melihat eksistensinya.
“Eh, Jaffan, baru pulang sekolah?"
Dengan kaku pemuda itu mengangguk. “Pasti belum makan, nanti kita makan bareng-bareng, ya. Bunda masak sop buntut hari ini."
Jaffan tersenyum sekenanya. Diam-diam ia merasa bersalah karena pasti bunda dan ayah Ardhan belum mengetahui tentang Harsa, dan itu karena Jaffan.
***
Sore itu pukul 17.30. Ardhan sudah bangun dari tidurnya sejak dua jam yang lalu. Tak seperti biasanya, pemuda itu memilih melanjutkan membaca novel yang tertunda daripada pergi ke kamar mandi untuk sekedar cuci muka atau pergi makan. Padahal, aroma sop buntut yang dimasak bunda tercium begitu menggugah sampai kamarnya. Meski begitu, hal itu tak cukup untuk membuat Ardhan merasa lapar. Sudah dua hari nafsu makanya juga berkurang.
Namun, sepertinya keputusan Ardhan untuk membaca dekat jendela bukanlah ide yang tepat. Harusnya Ardhan membaca buku di meja belajar atau tempat tidurnya saja. Atau, harusnya Ardhan pergi makan bersama keluarganya. Setengah jam yang lalu Ardhan melihat seseorang berjalan memasuki halaman rumahnya. Tapi, selama itu pula sosok itu tak muncul di hadapannya. Dan selama itu pula air matanya kembali meluruh.Hatinya kembali nyeri mengingat kejadian dua hari lalu di mana tak ada yang memberitahunya seorangpun tentang Harsa, bahkan seseorang yang selalu menganggapnya sahabat—Jaffan. Ardhan mengerti kalau Jaffan pasti merasa sedih, tetapi malam itu, dia merasa dilupakan. Dan sekarang, orang itu tiba-tiba datang ke rumahnya. Untuk apa? Memberitahu tentang Harsa? Bukannya sudah terlambat?
KAMU SEDANG MEMBACA
ETERNITY
Fiksi Penggemar"Enak kali, ya, kalo belajar di sekolah? Main bareng sama temen-temen di bawah sinar matahari ... ngebayanginnya aja udah seneng banget. Tapi gue yang dari lahir udah musuhan sama yang namanya matahari bisa apa?"-Bagas Rafardhan. "Jika gue terlahir...