Chapter 7 : Harsa And What He Wants

978 93 8
                                    

"For now I live, one day I'll die
I hope I'm content with the fact that I've tried
Don't need my regrets, leave it all on the line
'Cause this life is mine"

[ Human - Harris J]




[ Human - Harris J]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Gara menegaskan jika Harsa tidak seburuk yang orang-orang pikirkan selama ini. Gara terus mengulang kata-katanya jika Harsa bukan Monster, Harsa bukan orang yang jahat, Harsa bukan biang onar. Dengan tulus Gara berkata, Harsa adalah teman, sahabat, sekaligus saudara yang baik untuknya.

"Dan sekarang gue merasa bersalah banget karena gak angkat telepon dia tadi, coba aja kalo gue angkat, mungkin dia gak bakalan babak belur kayak yang lo bilang tadi, Ar," katanya sambil melirik ke arah Ardhan yang duduk di samping Jaffan. Walaupun ekspresinya terlihat datar, tetapi kita bisa melihat ada sebuah kesedihan di dalam kedua matanya yang sendu itu.

"Lo tenang aja, Ga. Harsa baik-baik aja, kan udah gue obatin luka-lukanya," Ardhan yang mengerti perasaan Gara seperti apa, mencoba untuk menenangkannya, walaupun sepertinya tidak akan berhasil.

"Gue gak bisa tenang kalo gue belum lihat dia secara langsung, gue mau tahu seberapa banyak luka yang dia alami hari ini. Gue gak bisa bohong kalo gue gak bisa gak khawatir sama dia. Walaupun gue orangnya kaku, tapi gue masih bisa khawatirin orang yang berharga dalam hidup gue selain Mama dan juga Papa," terang Gara, masih dengan tatapan sendunya yang dia arahkan kepada Ardhan dan juga Jaffan secara bergantian.

"Gue kayaknya bakalan ngelakuin hal yang sama kalo ada sesuatu yang terjadi dengan Ardhan, gue pasti gak bisa tenang, jadi wajar aja kalo lo kayak gini," kata Jaffan sambil mengelus bahu kanan Gara.

Gara mengangguk pelan. "Ngomong-ngomong, apa saat babak belur tadi, Harsa masih pake seragam sekolahnya, atau udah pake pakaian biasa?" tanya Gara tiba-tiba.

"Dia masih pake seragamnya, dan karena seragamnya itu gue jadi tahu kalo Harsa sekolah di sekolahan yang sama dengan Jaffan," jawab Ardhan.

"Haish, itu anak kebiasaan banget pulang dari sekolah suka keluyuran dulu. Kayaknya gue harus nyusul dia ke rumah deh, guys, takutnya dia belum nyampe ke rumahnya juga, soalnya itu anak agak keras kepala." Gara pun mulai beranjak dari duduknya.

"Kayaknya lo emang harus nyusul dia, soalnya tadi pas pamit pulang, raut muka dia kayak yang masih sedih gitu. Oh iya, satu lagi hal yang nyuri perhatian gue dari Harsa tadi adalah, dia gak ngelepasin kantung plastik yang isinya itu kayak es krim entah coklat, gue juga gak bisa lihat jelas. Mau tanya-tanya juga gue gak enak, lagian baru kenal juga kan jadi masih agak canggung gitu. Tapi yang jelas, isi yang ada di dalam kantung plastik itu udah hancur, bahkan udah gak layak dimakan kayaknya. Aneh aja gitu ya, bukannya dibuang tapi malah terus dia pegang," jelas Ardhan panjang lebar yang membuat Gara semakin mengkhawatirkan sahabatnya itu.

ETERNITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang