Chapter 30 : I'll Be With You

412 41 8
                                    

"I will hug you as the cold snowflakes wither and fall
Until you bloom as a spring flower
I'll be with you"

[Be With You-Ateez]

[Be With You-Ateez]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Sore itu angin berhembus lembut, menyapu wajah sosok Harsa Ganendra yang basah oleh air mata. Sepasang nayanika cokelat miliknya menatap lurus ke arah gundukan tanah basah di depannya. Masih membekas dalam ingatannya isi surat yang ditulis sahabatnya yang telah pulang itu. Hal itu membuat Harsa teringat tujuan awal dia ikut turnamen basket di sekolahnya.

Sekarang, seseorang yang menjadi penyemangatnya telah pergi, haruskah Harsa berhenti?

Harsa meraih ponselnya yang terus-menerus bergetar. Mata sembabnya mulai membaca rentetan pesan dalam grup chat club basket. Perlahan, jemari Harsa membuka personal chat dia dengan Coach Sandi. Ia mengetikkan beberapa kata untuk ia kirimkan.

Harsa: Coach, maaf saya udah bolos latihan tiga hari ini. Dan mungkin seterusnya saya gak akan ikut pertandingan sampai final. Maafin saya udah ngecewain Coach.

Jemari Harsa terhenti untuk meng-klik ikon kirim. Ada keraguan dalam hatinya, tapi dia juga tak yakin bisa melanjutkan. Saat hendak mengirim pesan itu, seseorang tiba-tiba duduk di sampingnya. Pun Harsa dengan segera mematikan ponsel dan menaruhnya di samping kakinya yang terlipat.

"Hasya, ngapain kamu di sini?"

Sang empunya nama hanya tersenyum. "Tadi Kak Jaffan nyariin Kakak ke rumah, katanya Kakak gak keliatan latihan basket lagi hari ini. Dan, satu-satunya tempat yang bakal Kakak kunjungin sekarang-sekarang ini ya makam Kak Gara. Makanya aku ke sini."

Harsa kembali menatap tanah merah di hadapannya. Mendengar si bungsu menyebut nama sahabatnya, ulu hati Harsa terasa seperti dicubit lagi.

Hasya menyadari raut mendung di wajah Harsa. Gadis itu lalu menghembuskan napasnya perlahan. "Aku tau kehilangan Kak Gara masih meninggalkan rasa sakit buat Kakak mengingat kalian begitu dekat. Bahkan, aku yakin Kakak lebih deket sama Kak Gara daripada sama aku. Tapi Kak Harsa tau gak kalo Kakak terus menerus nangisin kepergian Kak Gara, gak akan bikin perasaan kakak jadi membaik?"

Harsa menoleh ke arah Adiknya yang tengah menatapnya. "Kepergian Kak Gara itu udah seharusnya terjadi, dan kita gak bisa mengontrol itu. Kakak boleh sedih tapi aku harap gak terlalu lama berlarut dalam kesedihan itu sampai mengabaikan kondisi kesehatan Kakak dan juga orang-orang di sekitar Kakak. Masih banyak orang-orang yang sayang sama Kak Harsa. Alih-alih berlarut dalam kesedihan, aku harap Kakak tetap hidup buat mereka, buat aku."

Harsa tertegun mendengar dua kata terakhir yang terlontar dari bibir Sang Adik. Lamunannya tiba-tiba buyar oleh suara kekehan gadis itu.

"Ada saat aku cemburu ketika Mama sama Papa lebih perhatian sama Kak Harsa. Semua apapun yang Kak Harsa inginkan, mereka selalu mengabulkannya buat Kakak. Padahal buat aku, mereka gak begitu. Aku selalu dituntut buat jadi pihak yang mengalah," jeda panjang membentang setelah mengatakan hal itu. Hasya tak percaya bahwa dia akan dengan seterbuka ini mengungkapkan perasaan yang ia pendam selama ini. "Tentu, aku ngerti kondisi Kakak, makanya aku selalu memilih diam padahal dalam hati, aku ingin menjerit setengah mati."

ETERNITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang