If everything was easy, nothing ever broke
If everything was simple, how would we know?
[The Show-Niall Horan]
***
Setelah mengirim runtuyan pesan pada Jaffan, Ardhan kembali menyimpan ponsel miliknya yang disita itu ke dalam tas Bunda. Butuh waktu berhari-hari bagi Ardhan untuk menemukan benda pipih tersebut secara sembunyi-sembunyi. Pemuda itu akan mencarinya ketika orang tuanya keluar atau tertidur, diluar itu, Ardhan akan kembali meringkuk tanpa suara di ranjang rumah sakitnya seperti tak terjadi apa-apa. Sampai akhirnya, malam kemarin Ardhan menemukan ponsel itu terselip di tas kulit milik Bunda.
Ardhan kembali meloncat ke atas ranjang, menyelimuti dirinya. Kemudian tangannya meraih remote televisi, menekan tombol merah paling atas sampai layar LCD yang menggantung di dinding itu menyala. Garis senyum pemuda itu terbentuk ketika pembukaan pertandingan basket itu dimulai. Jantungnya berdentum keras, tak sabar melihat sosok Harsa bermain hebat di lapangan.
"Harsa, lo harus tau betapa gue pengen nonton lo secara langsung," lirih Ardhan dalam hatinya.
Pintu toilet terbuka. Bunda keluar dari sana. Mata keduanya sempat beradu, namun Ardhan lebih dulu memalingkan wajah tanpa senyum. Bunda menghela napas pendek melihat anak semata wayangnya yang masih saja merajuk itu. Lalu matanya beralih pada televisi yang ditonton Ardhan. Di sana tampak permainan basket baru saja dimulai. Tiba-tiba Bunda teringat kalau salah satu sahabat anaknya itu ikut serta bermain untuk sekolahnya. Dia pikir, Ardhan pasti menonton itu karena Harsa.
Kedua iris Bunda lalu teralihkan pada makanan yang masih saja tak tersentuh di atas buffet samping ranjang Ardhan. Beliau mendesah panjang sebab anaknya itu selain menolak bicara juga menolak makan. Karena tak terisi nutrisi, tubuh Ardhan terlihat sangat kurus, pipinya juga terlihat sangat tirus dibanding hari kemarin.
"Kamu harus makan, Ardhan. Sedikit aja," ujar Bunda sambil mengaduk bubur Ardhan dan menyendok sedikit bubur itu untuk dimakan oleh Ardhan.
Tapi pemuda itu bergeming seolah, kehadiran Bunda tak kasat mata. Ardhan terus menonton pertandingan basket di televisi meskipun perutnya terasa perih sekarang.
Bunda kembali mendesah. "Kamu tau ini juga buat kebaikan kamu, Ardhan."
"Gak ada yang baik-baik aja setelah Bunda sama Ayah ngelarang Ardhan buat ketemu sama mereka," kata Ardhan menusuk tanpa mengalihkan pandangannya. "Jangankan ketemu, berkirim pesan aja gak boleh. Kalian emang orang tua yang jahat."
Mati-matian Bunda menahan sakit di dadanya. "Kamu harus makan, Ardhan. Liat tubuh kamu makin kurus. Kamu harus sembuh kembali atau—"
"Atau apa? Atau aku mati karena kelaparan, gitu? Bagus, biar cepet mati daripada aku stres karena kalian larang ini dan itu." Ardhan menatap nyalang Bunda. Ada sedikit perasaan bersalah di dadanya, tapi Ardhan ingin mengutarakan kekesalannya. "Lagipula, semua orang akan berakhir mati, kan, Bun? Jadi kenapa Ardhan gak boleh ketemu sama mereka lagi? Ini bukan salah mereka, Bunda tau itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
ETERNITY
Fanfiction"Enak kali, ya, kalo belajar di sekolah? Main bareng sama temen-temen di bawah sinar matahari ... ngebayanginnya aja udah seneng banget. Tapi gue yang dari lahir udah musuhan sama yang namanya matahari bisa apa?"-Bagas Rafardhan. "Jika gue terlahir...