Bulan melihat kembali sosok perempuan disebelahnya. Rambut pendeknya yang sejajar dengan dagu berterbangan ditiup angin dari jendela mobil yang terbuka. Ia mengenakan baju tanpa lengan. Memperlihatkan tato pedang dan mahkota di lengannya.
"Lo nambah tato lagi?" Tanya Bulan menyadari tanda kemerahan yang muncul pada tato itu.
"Gue tanya, pernah nggak lo liat seniman tato yang tatonya cuma sebiji?" Ia melirik Bulan dari balik kacamatanya. Mata jutek itu, mata yang memarahi Bulan setiap hari dulu.
"Kemana aja lo? Udah puas kaburnya?" Sindir Bulan.
"Gue nggak kabur. Gue cuma pergi," jelasnya.
"Hebat. Pergi nggak ninggalin pesan apapun buat gue,"
"Gue pikir lo nggak butuh pesan apapun dari gue,"
"Menurut lo aja monyet? Siapa yang nggak panik tiba-tiba lo lenyap gitu aja? Gue nyariin lo! Terus ngapain sekarang lo balik? Udah puas nikmatin hidup?"
Bulan kembali teringat kebiasaan-kebiasaan mereka saat bertemu. Saat mengobrol. Nada tinggi, saling menyindir, melempar ledekkan dan hinaan seolah membenci. Tapi begitulah cara mereka menunjukkan kasih sayang pada satu sama lain. Begitulah ia tumbuh bersama tante Farah.
"Pak Haji bilang lo bolak balik ke rumah kita selama gue nggak ada," ucap Farah.
"Ngapain balik? Lo nggak bahagia di rumah mas Genta yang megah kaya istana gitu?" Tanyanya.
"Lo sendiri ngapain balik? Masih peduli sama gue? Pergi aja. Nikmatin hidup lo pasti lebih seneng kalo nggak ada gue. Lo bisa ngumpulin uang buat beli mobil impian lo," balas Bulan.
Ia diam-dian memperhatikan mobil yang dibawa Farah. Ia ingat betul bagaimana mereka menghayal tentang mempunyai sebuah mobil yang akan mereka bawa keliling kota saat bosan dimalam hari. Sekarang satu persatu hayalan konyol itu terwujud. Tapi anehnya Bulan ingin kembali ke masa lalu.
"Mas Genta yang ngasi mobil ini ke gue," jawab Farah. Ucapannya agak tercekat, menghindari pandangan Bulan.
"Oh, jadi ini bayaran buat ninggalin gue?" Tuduh Bulan.
"Gue nggak ninggalin lo, Bulan. Kalo gue ninggalin lo, gue nggak akan datang malem ini nemuin lo," bantah Farah.
"Lo kenapa sih? Siapa yang ngajarin lo kaya gini? Gue nggak ngedidik lo jadi orang buruk sangka sama orang ya?!" Kesal Farah.
"Lo ninggalin gue! Ninggalin gue sendirian!" Mata Bulan berkaca-kaca menatap tantenya itu.
"Gue nggak suka di rumah itu," adunya. Lalu perlahan turun dari matanya.
Farah menatapnya tak percaya, ia bingung melihat Bulan kini menangis dihadapannya.
"Lo diapain sama mas Genta? Siapa yang jahat sama lo? Lo kenapa sih?!" Paniknya. Nadanya meninggi, tapi alih-alih marah ia hanya sedang khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sprinkles on My Shoes
FanfictionSuatu hari Ajeng tertidur di sofa dengan baju putih abu-abunya yang bau keringat. Sepatunya masih terpasang, ia juga ingat sebelum tidur ia berkhayal tentang bagaimana jika seandainya ia terlahir dari keluarga kaya raya. Ia membayangkan mobil merce...