Yak, emang tidak tepat janji. Maaf
"Jadi orang kaya rumit ya?" Ucap Bulan di depan meja kecil berisi cemilan yang dibuatkan khusus oleh koki untuknya dan Bastian.
Mereka sedang di ruang theater siang itu. Pagi-pagi sekali Bastian datang meminta ijin pada Romo untuk menemui Bulan. Dan diantara semua ruangan di watu mereka, Romo mempersilahkannya untuk bertemu dengan Bulan di ruang theater.
Layar besar itu menyalah menampilkan film Dua Garis Biru dilayar. Romo yang memilih, seolah sengaja ingin memperingatkan mereka untuk tak melakukan hal menjurus saat dibiarkan berdua. Agak rese memang.
Bastian menoleh saat adegan dimana Bima dan Dara tengah bermesraan ditempat tidur. Agak risih juga melihatnya, untungnya ucapan Bulan itu bisa menjadi distraksi bagi mereka.
"Rumit yang kaya apa?" Tanya Bastian meminta contoh.
"Ya rumit," jawab Bulan. Ia memperhatikan tangan Bastian meraih madelaine di atas nampan.
"Dulu bagi gue, bisa makan kue-kue kaya gini adalah hal yang spesial. Sekarang enggak. Biasa aja," ucap Bulan.
"Makan steak hangat yang di sajiin sama chef pribadi dulu cuma akan terjadi di dalam mimpi. Tapi sekarang gue bisa minta kapan aja," tambahnya.
"Anehnya, semua nggak lagi terasa spesial saat ini. Biasa aja. Nggak lagi bikin gue ngerasa excited kaya dulu,"
Bastian mengangguk-angguk sambil mengunyah kue madelaine dimulutnya. Mendengarkan Bulan dengan baik.
"Hal-hal kecil yang dulu membuat gue merasa bersyukur sekarang bukan apa-apa lagi. Nggak lagi membawa kebahagian buat gue," ucapnya.
"Materi nggak bawa kebahagian?" Tanya Bastian. Tangannya menopang dagu, sepenuhnya menatap dan mendengarkan Bulan.
"Iya. Materi nggak bawa kebahagian," jawab Bulan.
Ah klise. Dulu juga Bulan mengira ucapan materi tidak membawa kebahagian itu hanya omong kosong belaka. Pikirnya, setidaknya orang-orang kaya yang bersedih bisa menghibur diri mereka dengan uang yang mereka punya. Menangis di dalam jet pribadinya yang tengah terbang menuju Paris, jauh lebih baik daripada harus menangis di dalam sepetak kamar bau hangit dengan nyamuk-nyamuk yang rese.
Tapi ternyata tidak begitu.
Saat kamu terbiasa dengan apa yang kamu punya, semuanya jadi terasa bukan apa-apa. Sepotong steak wagyu premium tidak lagi membahagiakan bagi mereka karena sudah biasa menikmatinya. Kado tas tangan bermerek Prada tidak lagi membuat mereka tercengang karena sudah memenuhi closset mereka.
Hal-hal yang kelihatannya besar, terasa biasa saja bagi mereka. Tetap tidak dapat menghibur semua rasa sedih yang mereka punya. Semua kehampaan, semua kebingungan, dan semua gundah gulananya dengan atau tanpa uang tetap terasa sama.
"Gue baru sadar.. dalam setiap hal besar yang datang ke hidup lo akan ada tanggung jawab yang besar juga," ucap Bulan.
Bastian agak tercengang. Hari ini gadis itu makan apa sampai omongannya bisa tidak ngelantur kaya biasanya?
"Gue dapetin semua fasilitas mewah dari Romo. Tapi gue juga harus melakukan banyak hal untuk memenuhi ekspetasi Romo ke gue. Ikut kelas etiket, tiba-tiba sekolah di sekolah inter yang ngomongnya bilingual, kurikulum yang bikin gue nangis tiap malam, les ini, les itu, semuanya. Belum lagi fakta bahwa gue harus mengetahui kisah antara Romo dan Ibu yang justru menyakitkan buat gue," Bulan terdiam sejenak.
Bastian masih mendengarkan. Celotehan Bima dan Dara di layar lebar di depan mereka tidak lagi menjadi topik utama.
"Semakin gue dekat dengan Romo, semakin gue serakah pengen Ibu ada disisi gue juga. Semakin gue berharap tentang keajaiban yang mustahil," ujar Bulan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sprinkles on My Shoes
FanfictionSuatu hari Ajeng tertidur di sofa dengan baju putih abu-abunya yang bau keringat. Sepatunya masih terpasang, ia juga ingat sebelum tidur ia berkhayal tentang bagaimana jika seandainya ia terlahir dari keluarga kaya raya. Ia membayangkan mobil merce...