Chapter Five

7.4K 534 33
                                    

"Tatiana terlalu banyak bergosip. Aku nggak suka." Ucap Aldwin kala ia diinterogasi oleh Helena Kintagioro melalui telepon.

"Lalu tipemu yang gimana?"

Pertanyaan dari neneknya lantas membuat fokus yang sudah susah payah ia bangun sejak tadi pagi untuk menganalisis laporan profitabilitas beberapa anak perusahaannya buyar.

"... mungkin terdengar aneh, tapi.. Sekarang yang tingginya sekitar 170cm? Sepertinya gadis yang memiliki mata berwarna cokelat, sudut matanya agak naik, kayak mata rubah. Tapi berbinar, kadang terlihat sedih dan dingin. Berambut panjang hitam, hmm.. kulitnya putih pucat, hidungnya mancung. Rambutnya panjang, hitam. Agak kurus tapi bukan yang kurus kering, arogan, dan.. mungkin seorang yang nggak takut luka dan berani jatuh dari ketinggian? Pintar, dan juga tidak bisa ditebak-"

"Kamu gila ya? Kamu mau cari istri atau mau buka kontes kecantikan?!" Neneknya terdengar kesal.

"..hampir. Makanya Grams harus mencarikan aku yang kurang lebih seperti itu biar aku bisa tenang. Aku khawatir kalau begini terus aku tidak bisa menjaga perusahaan dengan baik. Padahal selama enam tahun terakhir ini, Kalanka sudah benar-benar menunjukkan perkembangan yang pesat dan aku yang sudah-"

"Kamu memang butuh istri secepatnya." Sela wanita itu sebelum langsung memutuskan sambungan teleponnya.

"Halo? Grams? Grams??"

Aldwin kemudian menurunkan ponselnya dari sisi telinga sembari menatap smartphone-nya dengan heran. Tampaknya ia sudah kehilangan akal sehatnya. Usai perpisahannya dengan gadis itu beberapa hari lalu, pikirannya tidak bisa diajak berfokus ke hal lain. Aldwin bahkan menghabiskan waktu selama lebih dari 30 menit untuk memeriksa keadaan wajahnya di kaca semalam dan bahkan tadi pagi, setelah itu pula, ia selalu sadar wajah tampannya bukanlah penyebab gadis yang katanya gampang dijangkau itu, kekuasaan dan harta? Jelas bukan masalah! Kecerdasan? Apalagi itu! Pria itu merasa ia nyaris sempurna, lantas kenapa semua itu seakan tidak ada apa-apanya di mata gadis itu? Pasti gadis itu yang bermasalah.

Tanpa sadar, ia pun mengembuskan napas kesal. Aldwin kemudian memejamkan matanya, dan menarik napas dalam sebelum membuka matanya dan mencoba untuk berfokus kepada laporan di depannya, seperti yang telah ia coba sedari pagi. Namun hasilnya tetap nihil, laporan yang biasanya bisa ia monitor dalam hitungan menit masih tidak dapat dicerna oleh otaknya usai beberapa jam. Aldwin kemudian menutup laporannya dan merenung.

"Apakah karena aku terlibat dengan Tatiana dan temannya? Jadi dia menghindar? Mungkinkah salah paham?" Gumam Aldwin sembari menelengkan kepalanya tanpa sadar.

***

Suara tepukan tangan dari fashion director  Vogue Italia dan beberapa anggota PR Versace dapat terdengar usai sang fashion director meneriakkan "It's a wrap! Great job!"

Saat ini, Freya tengah berada di puncak tertinggi di gedung pencakar langit tertinggi di Jakarta yang memiliki 88 lantai untuk pemotretan advertorial** Atelier Versace untuk Vogue Italia yang bertema Princess in The City.

Gadis itu melambaikan tangannya sambil tersenyum sekilas pada videografer yang mengoperasikan kamera behind the scenes di depannya. Kini, sang videografer  telah turun bersama dengan kamera sertacrane pengangkutnya.  Beberapa kru kemudian bersiaga di bawah anak tangga pilot ladder berbahan dasar stainless untuk membantu Freya turun dari sana.

Mengenakan gaun berdesain rumit berbahan kulit metallic yang dilengkapi dengan kristal, sequins mewah, Freya kemudian turun secara hati-hati, satu persatu langkah secara presisi dari anak tangga besi  yang menempel pada panel dinding stainless tersebut. Beruntung perban kakinya sudah dilepas sehingga memudahkan pergerakannya. 

Dancing with Our Hands TiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang