Chapter Thirty One

2.9K 296 55
                                    

‼️

The viewpoints presented by the characters in this context do not represent the writer's perspective.

Pandangan yang disampaikan para karakter di sini tidak merepresentasikan perspektif penulis.

31. Brought To Light

Somewhere near One-North Residences
Singapore

Menarik napas dalam dan mengembuskannya lagi, Freya menatap kosong bagaimana kabut putih yang dia keluarkan mulai tersebar ke udara dan dibawa pergi dengan cepat oleh angin lembut di malam musim kemarau.

"I don't dance."

Merupakan jawaban Aldwin kepada Willy. Kendati tak ada yang salah dengan jawaban Aldwin beberapa hari lalu, Freya tetap merasa terganggu atas hal tersebut. Bahkan, Freya kerap mempertanyakan dan memikirkan makna dibalik keputusan tak penting sang lelaki sampai pada tahap yang tak wajar.

Setelah kembali mengeluarkan asap tembakau dari indera penciuman, Freya memejamkan mata. Tak berapa lama, netranya kembali terbuka, benar-benar mengesalkan. Bahkan nikotin pun tak lagi bisa bekerja secara maksimal untuk menyortir pikirannya. Semua ini disebabkan oleh ucapan Willy tempo hari. Kini, Freya tak lagi bisa memercayai apa yang dia paksakan dirinya untuk percaya. Cinta... kepada Aldwin Kintagioro? Bahwa mereka juga saling mencintai? Freya menarik napas dalam. Sekali pun hal itu benar, lantas selanjutnya apa?

Freya mengalihkan kepalanya, cukup lama dirinya menatap gedung apartemen berfasad kaca dan baja yang bisa dijangkau hanya dengan tiga menit berjalan kaki dari tempatnya berdiri kini. Berikutnya, tangan kanan Freya terangkat untuk menyugar beberapa helai surai yang tak terjangkau oleh penjepit rambut.

Dahulu kala, ada seorang laki-laki yang bertemu dengannya setiap hari di negara ini. Lelaki itu juga merupakan penghuni gedung tersebut, unitnya hanya berada satu lantai di atas unit Freya.

Tidak penting kapan atau di mana mereka bertemu, entah itu pagi hari sebelum kelas atau pun sepulang mereka dari kampus, baik sosok itu yang mengunjungi tempat Freya atau pun sebaliknya. Yang terpenting bagi Freya adalah dia menyukai setiap waktu yang mereka habiskan bersama. Hal itu juga berlaku untuk apa pun yang diucapkan sosok itu. Baik itu kritik-kritik kepada kepala negara tertentu, bagaimana demokrasi liberal adalah sistem pemerintahan yang paling ideal dan efektif bagi sang lelaki hingga kenapa menurutnya karedok harus masuk ke dalam daftar makanan nasional Indonesia. Jika menurut pria itu bentuk bumi adalah kubus, maka Freya pun takkan membantah.

Lelaki itu juga akan selalu menunggu Freya di lobi gedung apartemen setiap kali mereka punya jadwal kuliah yang sama. Kemudian, mereka menaiki bus yang sama di mana sosok itu akan selalu duduk dengan jarak dua kursi dari Freya. Tersenyum ke satu sama lain merupakan satu-satunya interaksi mereka selama berada di fasilitas umum.

Sesampainya di halte Aft Kent Ridge, pria itu akan berjalan lima langkah di belakang Freya sebelum keduanya mengambil jalan masing-masing usai mereka tiba di dalam kampus. Memang, mereka berdua punya alternatif yang lebih efisien dibanding harus menghabiskan waktu sekitar 30 menit untuk tiba di kampus yang tak terlalu jauh itu. Namun, hanya dengan cara ini lah, mereka berdua bisa mencuri lebih banyak momen kebersamaan tanpa perlu memusingkan asumsi orang-orang. Pada waktu itu, Freya rela menyerahkan segala yang dia miliki demi mempertahankan kebahagiaan kecilnya, namun ternyata segala bagi Freya itu tidak cukup. Tetap ada yang tidak bisa dia bayar.

"Mungkin saya jelaskan seperti ini saja, ya... Keluarga kami hanya mengkategorikan wanita dengan dua label, setiap kali anak laki-laki membawa pulang pacarnya, mereka pasti akan mendapat pertanyaan 'apakah dia Jackie atau Marilyn?'."

Dancing with Our Hands TiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang