Chapter Twenty Six

6.7K 518 65
                                    

Aldwin akhirnya diperbolehkan masuk ke dalam penthouse Freya, butuh perjuangan yang cukup panjang hanya untuk membuat wanita itu mau makan malam bersamanya. Ini sudah hampir pukul 10 malam, mood-nya untuk makan di restoran tadi pun telah sirna.

Mata kelam Aldwin mengedar di penjuru ruangan saat ia melintasi foyer pendek yang dilengkapi dengan chandelier bergaya klasik minimalis, selaras dengan gaya klasik kontemporer yang membuat griya tawang ini tampak seperti bangunan Yunani kuno namun terpadu dengan estetika modern bernuansa sederhana karena dominasi warna netral seperti putih, krem serta coklat tua. Tempat berlantai dua ini juga tergolong cukup luas untuk ukuran perempuan yang tinggal sendiri.

She's got a good vision. Pikir Aldwin. Setidaknya dia bisa mempercayakan rumah kepada Freya untuk dia dekorasi seperti.. tunggu.. apakah dia baru saja memikirkan masa depannya bersama dengan gadis itu? Konyol sekali. Seharusnya dia tak berpikir sampai ke sana.

"Tempatmu bagus."

"Well guess I'll have to thank the architect and the interior designer?" Timpal Freya cuek, dia terus berjalan, hendak menuju dapur kering yang berada tepat di samping ruang tamu.

"Kamu mengoleksi?"

Freya berhenti untuk menatap lukisan yang menjadi pusat atensi Aldwin kini. Terdapat tiga lukisan yang dipasangkan secara berdekatan, satu merupakan karya Paul Gauguin milik sang ibu dan lukisan karya Germaina.

"Tidak, teman saya– Germaina yang melukisnya. Dia suka melukis."

"Benarkah? Tapi yang ini terlihat seperti lukisan antik. Matisse, Gauguin atau Bonnard?"

Freya menelan ludah. Untung saja Freya hanya memasang satu lukisan milik sang ibu. Gadis itu tidak ingin membicarakan hal yang hanya akan memantik pertanyaan lain. Lukisan antik yang dimiliki sang ibu jelas tidak mudah diakses sebagian besar orang. Tapi yang jelas, Freya ingin menutup semua celah yang akan membawa pria itu untuk menanyakan hal tak perlu, she wants nothing to do with that family, any of them, sementara untuk sang ibu.. Freya yakin sosok itu juga pasti tidak menghendaki kehadirannya, bagaimana pun, Freya merupakan sumber kekacauan juga.

"I don't know.. It's a gift from my producer." Jelas Freya asal sebelum kembali berjalan, kini dia telah sampai di belakang kitchen island.

Aldwin mengangguk pelan. Benar juga. Perempuan itu sudah sampai di Hollywood, the heart of the world's entertainment, epitome of glamour and dreams. Seharusnya tidak susah bagi dia untuk mendapat barang-barang seperti ini.

"Your producer must be very generous then."

Ingin segera menutup obrolan tersebut, Freya segera mengalihkan pembicaraan. "Kapan kamu sampai di Jakarta?"

"Sekitar jam lima sore tadi. Saya langsung ke sini."

Gadis itu membuka laci bawah di kitchen island, tempat semua persediaan mi instannya berada. "Oh ya? Kenapa?"

"Kan saya sudah bilang, mau ajak kamu makan malam. Tapi kamu malah marah-marah waktu saya kasih barang bagus. Kamu lagi datang bulan?"

"Kalau kamu masih mau ketemu sama saya, jangan aneh-aneh. Jangan kasih barang atau apa pun."

"Berarti kehadiran saya saja sudah membuat kamu senang?" Wajah Aldwin bertambah cerah seketika.

Freya membasahi bibir, tampaknya dia salah bicara. Iya juga, dengan memberi peringatan tersebut, berarti dia masih mengharapkan pertemuan selanjutnya dengan sang pria, 'kan? Tapi lelaki ini saja terus mengikutinya, memangnya Freya punya pilihan lain?

Dancing with Our Hands TiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang