Chapter Nine

6.1K 578 11
                                    

Semuanya terasa enak sekalipun adalah makanan di kantin rumah sakit yang ia benci. Freya melahap makanannya bagaikan tiada hari esok. Mengabaikan sekitarnya yang untungnya lumayan sepi. Kini, gadis itu berada di sebuah sudut Rumah Sakit dengan konsep ruangan bagai restoran mewah, dikelilingi oleh banyak kaca berukuran besar, meja-meja kayu premium, kursi sofa lembut--  tidak ada yang akan menyangka bahwa lokasi tersebut merupakan kantin Rumah Sakit. 

"Slow down. Nanti kamu tersedak. Semua ini milikmu, kok." Peringat Aldwin saat melihat kecepatan makan Freya.

"That's what I'm talking about. Saya yakin, kamu ini pasti nggak lolos table manner sewaktu TK." Aldwin menyerahkan air mineral yang telah dibukanya kepada gadis yang tengah batuk-batuk karena tersedak kuah soto ayam.

"Please, be a jerk somewhere else. Kamu tidak dibutuhkan lagi sekarang." Ucap Freya usai batuknya mereda. Satu-satunya alasan baginya bisa duduk berdua dengan Aldwin di kantin eksklusif lantai VVIP ini adalah karena kantin ini memerlukan kartu member sebagai akses dan pembayaran, sementara kantin reguler di lantai bawah pasti akan sangat ramai.

"Apa lagi hobi-mu selain mengusir orang yang membantumu, membalas pertanyaan dengan pertanyaan dan meninggalkan orang yang sedang bicara?"

Freya memutar bola matanya. Daripada membalas, ia meletakkan air mineral pemberian pria itu di meja, kemudian menggeser piring berisi blueberry chocolate waffle with ice-cream mendekat dan mulai melahapnya.

"Enak sekali. Sudah lama saya nggak makan yang kayak gini." Freya menepuk tangannya dengan girang.

Aldwin memangku dagunya, siapa sangka melihat gadis makan dan kegirangan bisa menyenangkan baginya?

"Kamu suka makan. Kenapa masih bisa kurang gizi?"

"Saya sudah terbiasa jarang makan, waktu mepet. Plus, it's hard to get a job in the industry if you are not skinny. Dan juga, untuk menghindari gossip yang tidak diinginkan, hamil misalnya."

"Kamu pernah digosipkan hamil? Kenapa?" Aldwin terdengar terkejut meski ia sudah tahu sebagian gosip yang beredar di sekitar wanita itu.

"Tujuannya banyak, pengalihan isu politik, untuk panjat sosial dan membuat berita sensasional. Tapi, Itu masih belum apa-apa. Saya bahkan pernah digosipkan menjadi simpanan pejabat sampai produser."

"Memangnya benar?"

"Menurutmu? Kalau itu benar, mereka semua pasti sudah ada di sini, bukannya kamu. Saya kadang heran, kenapa media sangat tertarik untuk mengetahui dan berspekulasi dengan siapa saya berkencan. Semua itu.. Orang-orang yang terlibat rumor bersama saya, sebagian bahkan tidak saya kenali. Dan.. kamu sebaiknya berhati-hati."

Aldwin manggut-manggut. Kedua alisnya saling bertaut seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Lantas kenapa kamu masih mau menjadi aktris?"

"Karena saya bisa dan mau." Jawab Freya asal, perempuan itu masih sibuk dengan waffle-nya.

"Apa kamu pernah merasa terbebani dan ingin berhenti?"

Freya memasukkan suapan terakhir dessert-nya ke mulut. "Semua pekerjaan pasti punya kesulitan tersendiri. Saya pernah.. berpikir untuk berhenti. dan menghilang saja.. Tapi.. " Seolah tersadar akan sesuatu, Freya menghentikan ucapannya. Tampaknya ia kelepasan berbicara.

"Tapi.?" Aldwin menunggunya untuk melanjutkan.

"Lupakan. Kamu tidak perlu tahu." Freya kembali menangguhkan benteng pertahanannya. Gadis itu terlihat salah tingkah, ia meraih botol minum di depannya dan meminumnya.

Dancing with Our Hands TiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang