Chapter Six

7K 626 10
                                    

Langit Jakarta sudah mulai gelap ketika Aldwin Kintagioro menyelesaikan pembicaraan perihal perluasan ekspor bahan baku bangunan dari Kalanka Cements Manufacturing dan berbagai rencana investasi Aldwin ke Hong Kong sehubungan dengan babak baru dari hubungan bilateral antara Hong Kong dan Indonesia bersama dengan para pemangku kepentingan.

Aldwin kemudian menawarkan mereka semua untuk makan bersama di High Dive Lounge, sebuah restoran fine dining yang terletak di puncak gedung pencakar langit tertinggi di Tragatha Tower, yang mana gedung tersebut adalah kebetulan milik keluarganya juga.

Aldwin beserta para rombongan kemudian keluar dari lift khusus eksekutif setelah lift tersebut berhenti di pintu masuk menuju restoran bintang 5 yang mencakup lantai 3 lantai pada restoran fine dining bergaya Eropa tersebut.

"Bukannya satu restoran direservasi?"

Aldwin mengernyitkan keningnya saat ia mendapati kondisi meja restoran bagian dalam yang katanya direservasi malah tidak terisi satu pun. Ini aneh. Meskipun High Dive Lounge terkenal akan Lounge outdoor nya, hal tersebut tidak memungkiri bahwa biasanya restoran ini akan selalu terisi penuh karena orang-orang tidak ingin waktu menunggunya selama 6 bulan demi dapat merasakan makanan yang dimasak oleh chef pemenang michelin stars pada restoran ini menjadi sia-sia. Hal itu tentunya tidak berlaku bagi Aldwin. High Dive Lounge selalu menyediakan satu ruangan khusus VVIP yang hanya digunakan untuk tamu super penting seperti dirinya atau orang-orang dari Istana Merdeka lantaran Tragatha Tower merupakan proyek dari Tragatha Group, perusahaan kolaborasi Kalanka Group bersama pemerintah dengan pembagian saham sebesar 70% oleh Kalanka Group dan 30% untuk pemerintah Indonesia.

"Tadi tempat ini dijadikan tempat pemotretan dari majalah fashion, pak."

"Oh.. jadi sekarang sudah selesai?"

"Belum pak, cuma masih ada beberapa kru dan aktris-nya di meja depan. Tapi sepertinya mereka sudah akan selesai. Apa bapak mau meja depan aja? Soalnya nggak ada orang lagi." Tanya maitre'd.

Aldwin memberi persetujuan dengan anggukan kepala.

Tidak selang berapa lama, Aldwin bersama keempat pemangku kepentingan tersebut berjalan menuju ruang terbuka dari restoran. Keempatnya berdecak kagum saat disuguhi pemandangan langit Jakarta yang mulai menggelap dan ditemani dengan berbagai pendar dari lampu-lampu perkotaan pada kota yang tidak pernah tidur ini.

"Pak Dahlan?" Menteri Luar Negeri langsung menoleh ke arah wanita yang memanggilnya. Wanita berambut pendek sebahu yang diikat itu meninggalkan aktivitas beres-beresnya saat melihat kehadiran sang menteri yang pernah beberapa kali seproyek dengan aktrisnya, salah satu yang paling berkesan adalah saat Freya dipilih sebagai tamu jamuan makan malam diplomatis untuk menyambut kehadiran Presiden Indonesia ke-8 di Gedung Putih Washington, D.C.

"Ah.. Mia, kan?"

Wanita berambut pendek itu menganggukkan kepalanya.

"Apa kabar? Mana Freya?"

"Baik pak. Terima kasih banget atas bantuannya kemarin. Kalau nggak ada bapak, kita nggak tahu lagi harus terjebak di Paris sampai kapan. Itu Freya." Tunjuk Mia pada sosok yang baru saja keluar dari toilet yang terletak pada bagian pojok.

Aldwin mengangkat sebelah alisnya. Freya? Pria itu lantas mengerjapkan matanya berkali-kali saat melihat sesosok wanita berambut panjang berjalan mendekati mereka, dan lagi-lagi, Aldwin merasa waktu seperti berhenti berputar, di pandangannya, wanita itu berjalan dengan sangat lambat.

Semula Aldwin mengira dirinya berhalusinasi lagi, namun asumsinya dipatahkan oleh pria di sampingnya yang kemudian berjabat tangan dengan gadis itu.

Sesosok wanita berambut panjang berjalan mendekati mereka dengan langkah yang masih agak tertatih, dan lagi-lagi, Aldwin merasa waktu seperti melambat, ia merasa melihat wanita itu dalam slow motion.

Kedua sudut bibir perempuan itu terangkat, menampilkan giginya yang putih dan rapi, matanya berbinar seperti biasanya, namun tampak lebih sayu. Aldwin baru mendapati, ternyata kaki wanita itu telah bebas dari perban.

"Pak Dahlan.. Senang bertemu anda di sini." Tangan Freya terulur menjabat tangan pria yang saat ini sedang dalam usia pertengahan 60.

"Kenapa kamu di sini?" Dari sekian banyaknya kata sapaan, kalimat tersebut yang Aldwin pilih untuk sampaikan.

Senyuman Freya pupus saat menyadari pria di samping sang menteri, "Saya sudah berada di sini dari tadi." Ada banyak kata-kata yang tertahan di tenggorokan Freya. Ia tidak ingin mempermalukan dirinya di hadapan orang-orang penting.

"Kalian saling kenal?"

"Tidak." Sergah Freya cepat.

"Ya." Aldwin mengiyakan.

Dahlan Alamsyah tampak kebingungan dengan ketidaksinkronan itu. Suasana mendadak berubah menjadi canggung. Untungnya tak berselang lama, ponsel daripada pria paruh baya itu berdering.

"Halo? Ah iya.. Saya turun sekarang." Dahlan kemudian mematikan ponselnya.

"Maaf pak, tampaknya kita tidak bisa makan malam bersama. Saya lupa setelah ini kami ada pertemuan dengan pak Presiden. Mobil sudah menunggu di bawah. Tampaknya kami harus pergi duluan."

Tidak berselang lama setelah mereka berterima kasih pada tawaran Aldwin, mereka akhirnya turun setelah berjabat tangan dengan Aldwin.

"Siapa yang menyangka pada akhirnya kita akan bertemu di hari ini juga?"

Freya menoleh ke sampingnya, pria dalam setelan berwarna biru dongker itu tengah menatapnya sambil tersenyum lebar.

"Were you following me?" Tanya Freya sembari memicingkan matanya ke arah Aldwin. Kebiasaan yang ia lakukan bila melihat hal yang tidak ia suka.

"Apa kamu bercanda? Kamu kira saya stalker yang tidak punya kerjaan? Saya punya seratus tiga puluh dua ribu karyawan yang bergantung pada saya, saya sedang menjalankan tanggung jawab untuk menyejahterakan mereka. Kamu tidak lihat tadi ada Dahlan Alamsyah dan Ambarwati Retno?"

"Sekarang mereka sudah pergi." Freya mengangkat kedua pundaknya cuek.

"Tunggu." Aldwin menahan tangan Freya yang secara mengejutkan agak dingin.

"Jangan sentuh saya." Mata wanita itu mengintimidasi, Aldwin dengan cepat melepaskan genggamannya.

"Saya mau bicara."

"Apa sih yang mau kamu bicarakan?"

"Are you playing hard to get?"

"Oke, itu kenapa saya nggak mau bicara sama kamu."

Pria itu lantas berpikir dengan cepat. "... saya mau minta ganti rugi. Kamu.. merusak kemeja saya. Itu Kiton!"

Freya memijit pelipisnya yang agak pusing, gadis itu tampak mengatur napasnya yang tidak biasa.. "Kamu punya seratus ribu lebih orang karyawan. Saya yakin kamu bisa membeli ribuan pasang yang baru. Lagipula, saya bukannya sengaja. Manakah yang lebih baik? Kemejamu baik-baik saja tapi gegar otak karena lemparan itu? Atau kemejamu rusak tapi kamu tidak terluka?"

"Saya tidak peduli. Hal tersebut tidak kejadian. Saya hanya ingin kemeja saya kembali. Bukan dengan uang. Kembalikan kemeja yang sama persis."

Freya membuka mulutnya, namun ia menutupnya kembali. Gadis itu membuang napas berat, ia kehabisan tenaga untuk berdebat dengan pria itu.

"You're ridiculous."

"Memang. Sekarang bagaimana kamu bisa mengembalikan kemeja kesayangan saya? Saya akan terus menerormu-"

"Kamu akan berhenti mengganggu saya kalau saya mengembalikan kemejamu?"

"Ya."

"Mia, tolong mintain alamat bapak ini biar gue bisa kembaliin kemejanya." Pinta Freya kepada Mia yang sudah selesai mengemas barang-barangnya yang dibalasnya dengan anggukan penuh kebingungan.

"Sudah, silakan ditunggu saja." Freya lantas berbalik dan berjalan ke sisi meja untuk membantu menyangga tubuhnya.

"Kamu ini tidak sopan sekali, setiap saya belum selesai ngomong kamu sudah mau perg-"

Aldwin tidak sempat menyelesaikan ucapannya, wanita itu tiba-tiba saja kehilangan kesadarannya, tubuhnya hampir terbentur ke lantai kaca di sky lounge yang keras jika Aldwin tidak refleks menahannya.

***

Dancing with Our Hands TiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang