Chapter Twelve

5.3K 502 8
                                    

Freya ingin segera melarikan diri dari sini. Kini ia berada di Grand Imperial Dining, sebuah restoran fine dining populer di kawasan Gunawarman yang menyajikan makanan khas China. Oh iya, gadis itu kini hanya berdua, perlu digaris bawahi, ia hanya berdua bersama neneknya yang tiba-tiba muncul pada saat ia akan check out dari Rumah Sakit. Semuanya terasa canggung baginya.

"Kenapa kamu nggak kasih tahu Momma?"

Freya meringis, salah satu alasan ia tidak ingin memberitahu neneknya adalah ini, neneknya pasti akan langsung menyusulnya. Dalam hati, Freya mengutuk Germaina yang ia yakini sebagai tersangka utama dalam hal ini.

"Aku.. cuman nggak mau Momma khawatir. Momma pasti punya banyak kerjaan, lagian udah biasa kok." Freya tersenyum canggung, "Momma pasti tahu dari Gemma ya?"

Sharon Loekseno meletakkan gelas teh Da Hong Pao-nya di atas meja dan tersenyum tipis. "Nichole, sebenarnya kamu nggak usah repot-repot menutupi masalah ini dari Momma, kamu lupa kamu adalah figur publik? Semua tentang kamu ada di TV. Momma juga tahu ini bukan yang pertama kalinya."

Freya menelan ludahnya. Di dunia ini, hanya ada 3 orang yang memanggilnya dengan nama tengahnya, sekali pun neneknya termasuk dalam ketiga orang itu, ia masih merasa asing.

"Momma nonton TV?" Freya bertanya ngeri, sebab pemberitaan tentang dirinya lebih sering menjurus ke hal-hal yang negatif.

"Iya lah, demi ikutin perkembangan kamu yang nggak kunjung ngasih kabar. Emangnya Momma bisa apa lagi? Tapi itu media kayak agak sinting ya. Banyak banget loh berita nggak berdasar. Momma sampe kesal sendiri."

Freya masih bungkam.

"Momma jenguk kamu kali ini karena katanya ada banyak aktivitasmu yang ketunda, kamu nggak punya siapa-siapa di sini, dan kamu juga kelihatannya nggak bisa menjaga diri. Kamu lebih kurus dari terakhir kita ketemu 5 tahun yang lalu." Tukas Sharon cuek sambil menyantap kudapannya sebelum melanjutkan. "Kamu lupa janji kamu ke Momma?"

"I'm sorry."

"Ora perlu. Tapi.. Momma ada permintaan buat kamu. Kamu tahu kan Momma udah nggak muda.." Sharon meletakkan alat makannya, menengadahkan kepalanya dan melihat Freya yang menatapnya dengan penuh harap cemas. Wanita berusia 80 tahunan itu kemudian membuka mulutnya lagi, "Di usia Momma yang sekarang ini, Momma cuman berharap semua cucu Momma yang sudah dewasa ini bisa memiliki pasangan yang menjaganya dan membangun keluarga sendiri, seperti sepupu kamu yang lainnya."

Freya masih menyimak sembari memainkan nasi dan pan fried tenderloin beef-nya dengan sumpit. The idea of starting a family.. semua terasa begitu mustahil bagi Freya, dan jelas gadis itu agak kesal. Kenapa orang-orang selalu berpeluk pada ideologi bahwa pernikahan ataupun pasangan akan dapat menyelesaikan masalah, sih? 

"Akhirnya Victor, kakak kamu akan mencapainya. Jadi.. Momma berharap kamu bisa datang, acaranya akan dilangsungkan di sini juga."

Meski mendengar kabar bahagia, tapi Freya tak merasakan kesenangan sedikitpun, sebab ia memang tidak merasakan koneksi apa-apa dari keluarga itu, terlebih kepada Victor, kakak laki-lakinya yang baru ia ketahui keberadaannya saat Freya berusia 7 tahun. Freya masih ingat, ia tengah bermain rumah-rumahan dengan sang pengasuh saat ayahnya tiba-tiba membawa bocah itu masuk dan bertemu dengan ibunya, beberapa saat kemudian, terdengarlah suara teriakan, tangisan ibunya dan bantingan pintu, hal yang sebenarnya sudah lumrah gadis kecil itu saksikan. Freya segera dibawa bermain keluar oleh pengasuhnya seperti biasanya, namun ada yang berbeda pada hari itu, bila biasa hanya akan memakan waktu beberapa jam, kala itu, Freya sampai dititipkan ke rumah kakek dan neneknya selama beberapa hari. Meninggalkan banyak tanda tanya pada Freya di saat tidak ada yang menjelaskan situasi ini padanya, semua orang dewasa sibuk berteriak pada satu sama lain, saling menyalahkan, begitu juga dengan nenek dan ayahnya. Sekembalinya ia ke rumah, ia sudah memperoleh seorang kakak lelaki yang 3 tahun lebih tua dari dirinya yang menatap Freya penuh kebencian, ditambah lagi pria itu juga selalu menyalahkan Freya atas ketiadaan ayahnya selama beberapa tahun, bahwa Freya sudah merebut ayahnya.

Jannice– ibu Freya pasca kejadian tersebut juga tidak bisa ia temui di mana pun selain di kamarnya sendiri, dengan mata sembab dan tatapan kosong, bagaikan raga tak bernyawa yang bahkan tidak ingin melihat Freya lagi, sebab kata ibunya, Freya merupakan perwujudan dari derita yang menyiksa ibunya. Tidakkah itu terlalu berat untuk anak seusianya yang seharusnya menghabiskan waktu bersenang-senang bersama orang tua dan saudaranya? Freya tidak bisa mengingat dengan jelas bagaimana ia masih bisa menghabiskan waktu di sana, yang pasti, apa yang dirasakannya jauh dari kata senang. Freya mengerjapkan matanya, memutus lamunan yang bila diteruskan, dapat membuat matanya yang mulai berair menjadi bendungan air mata. Freya kemudian berdeham, sebelum akhirnya ia memaksakan senyum bahagia.

"Wow, that sounds great!" Freya memberi jeda pada ucapannya. ".. tapi.. Sorry Momma, kayaknya aku nggak bisa datang deh, bisa tolong sampaikan selamat dari aku? Dan aku akan mengirimkan.."

"Emangnya kenapa? Kamu kan bisa mengosongkan jadwal kamu? Lagian pernikahannya juga masih dalam hitungan bulan lagi kok. Kamu tag jadwal sekarang kan bisa. Nanti Momma WA Mia deh."

"Tapi.."

"Ingat, Nichole kamu sudah melewatkan pernikahan 3 sepupu dekat kamu dan juga sejumlah acara kumpul keluarga dengan alasan yang sama. Kamu juga nggak pernah ingin tahu kabar saudara-saudaramu. Apakah Momma pernah mengatakan apa pun terkait itu? Tidak. Apakah Momma menuntut terlalu banyak saat meminta kamu, seorang cucu, seorang adik, untuk hadir pada pernikahan kakak lelakinya sendiri?"

Freya menelan ludah, alih-alih menjawab, kepalanya menunduk, ia bisa merasa matanya semakin memanas. Ia menarik napas dalam untuk meredakan panas pada dadanya.

"Momma tahu, bagimu keluargamu mati bersama Poppa, tapi kamu jangan egois. Kamu kira kamu melakukan sesuatu dengan cara menghindari kita semua seperti ini? Have you ever thought of Momma? Kalau kamu memang begitu kesalnya pada keluargamu, datang dan temui mereka, berusaha buat memperbaiki semua ini, bukan dengan menghindar seperti pengecut." Sharon menyeka bibirnya dengan tisu. "Keluarga tetaplah keluarga, sampai kapan pun itu. Kamu bisa menghapus nama belakangmu, tapi darah yang mengalir dalam tubuhmu itu dan darah kami, masih satu. Kamu tidak akan pernah bisa menghapus fakta itu selamanya."

Freya menggigit bibirnya yang mulai bergetar, berusaha untuk menahan semua rasa yang membuncah di dadanya agar tidak di luar kendalinya, gadis itu tidak punya pembelaan. Selalu saja sama sejak dulu. Ia tidak akan pernah punya ruang untuk berekspresi bila di sini, ataukah ia sendiri yang membatasi ruang ekspresinya? Entahlah, yang jelas, Freya tidak akan pernah bisa melawan mereka.

"Momma nggak maksud buat kamu terbebani. Beberapa bulan lalu, ada kecelakaan mobil yang menimpa Momma."

Freya menatap Sharon dengan kaget. Namun, dengan cepat Sharon meredupkan kekhawatiran cucunya. "Nggak ada korban jiwa, cuman luka-luka, karena pengemudi mobil mengantuk dan mobilnya yang oleng buat mobil dari arah berlawanan hilang kendali atas haluannya dan saling menabrak. Tapi, hal tersebut membuat Momma sadar, semua orang sangat dekat dengan ajal, Momma masih diberi kesempatan untuk hidup, jadi Momma ingin memperbaiki masalah yang ada selagi Momma bisa, sebuah keluarga yang utuh.. Seperti dulu, itulah satu-satunya harapan Momma sekarang, apa kamu akan membantu Momma, Nichole?"

***

Dancing with Our Hands TiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang