Chapter Nineteen

5.6K 534 36
                                    

Langit-langit tinggi, lampu gantung modern berkonsep minimalis berbentuk bola seolah menyapa kembali kehadiran Freya. Sang dara mengedarkan pandangannya, memindai berbagai guci, vas dan juga patung pajangan dengan napas budaya berbeda yang berhasil menyampaikan pesan bahwa benda-benda yang memenuhi penjuru rumah ini berasal dari berbagai negara.

Dia kemudian meletakkan kantong belanjaan yang dibawa ke atas sofa besar, lalu berdiri dan berjalan ke belakang kursi panjang besutan Roche Bobois itu, sambil membawa teh hangat buatan tuan rumah sebelum ia menghilang ke lantai atas.

Gadis itu lalu menghadap ke kaca besar yang menjadi partisi antara ruang tamu dan juga teras rumahnya, menatap kosong rintik-rintik air yang masuk memenuhi kolam renang rumah itu, semuanya, turun memenuhi penampungan air itu, dalam waktu yang bersamaan. Freya lalu menoleh saat mendengar pergerakan di dekatnya.

"Maaf saya mengganggu waktumu malam-malam. Saya cuman.."

"Ini. kakimu basah. Nanti masuk angin." Ucap Aldwin memberikan sebuah handuk kecil kepadanya.

Mata cokelat gadis itu agak melebar sebelum akhirnya ia menerima handuk pemberian pria itu. Ia kemudian menundukkan kepalanya sedikit, ia bahkan tidak sadar bahwa gaunnya terkena lumayan banyak cipratan air saat ia menunggu di depan tadi.

"Oh.. maaf." Tukas gadis itu singkat kala Aldwin mengambil cangkir di tangannya dan meletakkan benda tersebut ke atas meja, agar gadis itu bisa lebih mudah mengusap sisa buliran air hujan dari kakinya.

"Apakah minta maaf jadi salah satu keahlianmu? Saya nggak suka mendengar kamu minta maaf."

"I'm sorry then. Berbeda dengan kamu yang selalu menerima permintaan maaf– I don't mean this, maksud saya di daily basis, saya adalah orang yang harus minta maaf untuk bertahan hidup." Balas Freya cuek, dia lalu menoleh ke jendela tanpa menatap balik pria yang menatapnya dengan lekat, iya pria itu sudah berada di sampingnya lagi.

Ia tiba-tiba teringat bagaimana ia harus membungkukkan tubuhnya 90 derajat selama berkali-kali, meminta maaf dan memohon agar sutradara proyek film keduanya ingin melanjutkan syuting atas kesalahan yang tidak ia perbuat. Apakah ia menyesal? Tentu tidak. Film itu menjadi batu loncatannya agar semakin dilirik produser dan sutradara kondang. Bagi Freya, minta maaf tidak akan merendahkan kodrat diri sendiri.

Keheningan mulai meraja, meninggalkan rasa janggal di dada, membuat gadis itu mulai meragukan keputusan ekstrimnya ke sini.

"Jadi.. kamu menyetir sendiri? Kamu sering menyetir?"

"Iya.. eh.. Jarang sih. Kadang-kadang saja, kalau lagi mendesak. Soalnya saya merasa sangat nggak nyaman kalau saya mengabaikan perasaan ini. Masih banyak yang menggantung di antara kita."

Aldwin tampak tak sabar menanti ucapan Freya berikutnya, napasnya agak tertahan. Perasaan apa yang dimaksud?

".. saya cuma mau bilang ini.. terlepas dari apa pun motif kamu, kamu juga sudah meluangkan waktu dan tenaga dan saya merasa terbantu, saya juga tahu kamu bermaksud baik waktu sama mbak Ina kemarin. Hanya saja, saya sedang tidak dalam kondisi yang baik untuk menanggapi semua itu. Saya sudah terbiasa menyelesaikan semuanya sendiri. Semua akan baik-baik saja saat saya minta maaf, dan saat kamu melakukan itu, saya merasa kamu sudah mengacaukan semuanya.." Freya meremas handuk yang ada di pegangannya.

"Saya lalu mengatakan hal-hal yang menghakimi. Biasanya saya nggak gitu. Maaf ya. Saya tahu tidak ada orang yang tidak terhindar dari masalah. Dan kamu juga pasti punya perjalanan panjang sebelum sampai pada posisi kamu hari ini. Itu pasti bukan hal mudah."

Kehangatan perlahan menyelimuti dada pria itu. Aldwin tidak tahu bahwa perkataan sederhana itu akan membuatnya merasa seperti ini. Mungkin karena selama ini, ia lebih sering dianggap objek untuk mencapai keinginan orang-orang di sekitarnya, daripada dipandang sebagai seorang manusia yang juga memiliki perasaan.

Dancing with Our Hands TiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang