Chapter Eight

6.3K 574 14
                                    

Apa yang kamu kejar? Kaiser Kintagioro memang sudah lama meninggalkan ruangan, namun ucapannya masih terus menerus berputar di kepalanya Freya bagaikan sound file yang terus menerus diputar ulang.

Freya tidak tahu apa yang mengganggu pikirannya, fakta bahwa ia tidak bisa menjawab pertanyaan itu atau ia memang tidak ingin menjawabnya karena tidak siap untuk itu. Namun hal yang Freya tahu pasti, ia tidak memiliki sesuatu untuk dikejar. Ia tidak mengejar piala Oscar, tidak juga film-film hollywood bersama Quentin Tarantino ataupun Christopher Nolan. Selama ini, ia hanya ingin menyibukkan diri. Untuk apa? Entahlah. Freya tidak ingin memikirkannya lagi.

Ia meraih ponselnya di nakas, membuka beberapa artikel kabar terbarunya di Google, katanya kabar dia sakit sudah menyebar.

Freya Jane Dilarikan Ke Rumah Sakit.

Benar saja dugaannya, kabarnya masuk rumah sakit sudah menyebar kemana-mana dan menjadi headline berbagai media. Cepat sekali. Seperti para wartawan memang tidak punya kerjaan selain menguntitnya.

Freya membaca sampai habis artikelnya untuk mencari tahu apakah nama Aldwin disebutkan, hal terakhir yang ia inginkan adalah terlibat rumor dengan pria seperti dirinya. Freya ingat dengan jelas betapa berlebihannya Mia menjelaskan apa yang terjadi pada dirinya merupakan modern fairytale, bukan pangeran berkuda putih, melainkan triliuner berhelikopter putih, sebab pria itu yang sudah berbaik hati meminjamkan helikopternya agar Freya dapat tiba di rumah sakit dengan cepat dan tenang tanpa resiko terjepret paparazzi. Ia bisa bernapas lega ketika akhirnya tidak ada satupun artikel yang menyebut nama pria itu. Semua berita tersebut hanya menjelaskan kondisinya sekarang dan Mia yang memberitahu bahwa ia telah siuman. Gadis itu kemudian terus menggeser layarnya ke bawah dan menemukan beberapa komentar dari netizen.

RULOSTABBYGIRL : Lagi? Palingan gimmick lagi. Mati aja sana.

GROSSIPGURL : nggak peduli, nggak penting. Prestasinya apa coba? Cuma jago bikin sensasi. She thinks she is Blair Waldorf padahal nyatanya dia lebih rendah Jenny Humphrey.

anonymously : kayaknya juga bentar lagi mati. Kurus gitu. Mungkin udah miskin karena nggak ada lagi sugar daddynya.

Ouch. walaupun Freya mengaku ia telah berdamai dengan hal seperti itu, nyatanya ia masih seorang manusia. Ia masih memiliki perasaan. Sakit. Ia ingin tahu kesalahan apa yang telah ia lakukan di saat ia hanya ingin berkarya melalui kesukaannya berakting sehingga orang yang tidak ia kenal pun tega meninggalkan komentar tersebut kepadanya. Ia merasa, apa yang dilakukannya selalu salah di mata semua orang. Tidak ada yang benar-benar peduli padanya. Mereka tidak mengerti seberapa buruk dampak yang bisa diberikan hanya melalui ketukan jari mereka pada layar.

Gadis itu kemudian mematikan ponselnya, membalikkan badannya menghadap kiri ke jendela besar kamar rumah sakit, menaikkan selimutnya hingga menutupi pundaknya dan mematikan lampu di bilik, menyisakan hanya lampu tidur yang remang-remang. Air matanya jatuh membasahi pipinya, tidak butuh waktu lama untuk air matanya membanjiri bantalnya juga. Ia menangis sekencang-kencangnya.

"Freya? Kamu kesakitan? Apa kamu butuh dokter?"

Isakannya itu berhenti ketika ia mendengar suara yang tidak asing. Suara Aldwin. Freya mengusap air matanya menggunakan punggung tangannya dengan cepat.

Setelah memastikan air matanya sudah mengering, ia beringsut duduk di brankarnya.

"Ngapain kamu ke sini?"

"Apa kamu selalu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan?" Aldwin berjalan menuju saklar lampu di dekat nakas, menyalakan lampu dan bersandar di kaca jendela.

"Hei, ngapain kamu seenaknya menyalakan lampu?" Freya menatap mata Aldwin dengan nyalang. Matanya masih sembab dan merah.

"Untuk melihat wajahmu lebih jelas. Saya kira kamu kenapa-napa. Tapi melihat kamu bisa marah-marah, sepertinya kamu baik-baik saja. Anyway, you still look pretty even when you're crying." Aldwin menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

Freya menelan ludahnya, ia menutup bibirnya rapat-rapat dan membuang muka. "Untuk apa kamu ke sini?" Tanyanya dengan nada suara yang menurun.

Kedua ujung bibir Aldwin tertarik ke atas. Ia tahu Freya sedang salah tingkah.

"Rumah sakit ini berada di bawah naungan Kalanka Group. Secara teknis, saya juga yang punya. I don't owe you or anyone an explanation of why I'm on my own property."

"Kalau begitu, rumah sakit ini punya pemenuhan hak privasi pasien yang buruk."

"Bicara tentang privasi dan layanan rumah sakit, kamu seharusnya berterima kasih pada saya. Semua orang, khususnya wanita akan bermimpi untuk apa yang kamu peroleh hari ini."

Freya mengembuskan napas berat, gadis itu mengangguk pelan dan tersenyum meremehkan. Freya curiga pria ini memiliki masalah narsistik.

Pria itu tampak terganggu dengan Freya yang tampaknya sama sekali tidak mengindahkan pesonanya. "Apa ada yang lucu? Just so you know, saya juga ke sini untuk memberi tahu kamu bahwa tidak hanya satu kemeja Kiton, tapi kamu juga berutang biaya rumah sakit kepada saya. Karena kondisimu yang sedang sakit, saya akan menggratiskan trip helikopter ini."

"Isi sendiri nominal dan nomor rekeningmu." Freya menyerahkan ponselnya kepada Aldwin usai ia membuka aplikasi perbankan online.

"Saya tidak bilang mau uang."

"Lantas apa maumu? Saya tidak ingin berhutang budi padamu."

"Hmm.. saya masih memikirkannya. But first and foremost, bisa dimulai dengan menunjukkan itikad baik sebagai pengutang untuk terbuka dan bisa dihubungi. Membuka blokir pada nomor saya. Selebihnya menyusul hingga saya menghubungi kamu."

Freya memutar bola matanya. "Kamu bercanda? Kenapa tidak sekalian meminta pengacara untuk buatkan kontrak perjanjian?"

"Ah.. benar juga. Ide bagus. Terima kasih. Saya akan menghubungi pengacara saya. Kamu juga boleh menghubungi teman pengacaramu."

Perempuan itu menghembuskan napas kasar, "Lakukanlah sesukamu. Sekarang bisakah kamu pergi? Saya butuh ketenangan."

Aldwin bergeser dari posisi sandarannya di jendela dan melangkahkan kaki mendekati ranjang. Jarak mereka kini sangat dekat lantaran pria itu menundukkan tubuhnya agar bisa sejajar dengannya yang duduk di tempat tidur. Aroma maskulin khas Clive Christian dari tubuh Aldwin menguar memenuhi rongga hidungnya. Menghapus bau karbol khas rumah sakit yang memuakkan bagi Freya. Perempuan itu bisa merasakan napas Aldwin menderu di wajahnya.

"Saya masih terkejut dengan fakta bahwa ternyata kamu bisa menangis juga." Aldwin bertanya dengan nada rendah. Sebelah tangannya menggenggam sisi brankar Freya.

Freya menarik napas dalam, membuat aroma Clive Christian memenuhi paru-parunya. Ia memalingkan wajahnya.

"Putus cinta? Putra Abraham Haddankara bermain wanita lagi?"

".. Raphael dan saya hanya berteman dekat."

"So what could it be?" Ia tersenyum tipis. Aldwin sudah mengetahui fakta itu saat gala dinner Remiel Group kemarin, Raphael Haddankara masih terus mempertahankan reputasi playboy-nya dengan mencumbu dua wanita berbeda selama pesta berlangsung, di depan Freya dan temannya pula, alih alih menunjukkan rasa cemburu, gadis itu malah sibuk mengobrol dan tertawa bersama temannya tanpa memerdulikan sekitarnya. Tatapan mata Aldwin tidak luput dari wanita yang tidak ingin menatapnya.

Bibir perempuan itu terkatup rapat. Keheningan menyelimuti ruangan. Setidaknya untuk sejenak hingga suara perut Freya memecah kesunyian.

Sialan. Rasanya Freya ingin menjatuhkan dirinya ke lubang terdalam di muka bumi ini. Apa yang salah dengannya? Padahal ia baru saja menghabiskan oatmeal buah satu jam yang lalu. 

Dancing with Our Hands TiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang