Chapter Twenty Four

5.4K 429 88
                                    

Freya Nichole Loekseno, usia tiga belas tahun.

Tenggorokan Freya kering, gadis itu kemudian memaksakan dirinya untuk bangkit dari tempat tidur guna meredakan dahaga dengan air yang terletak di nakas. Demamnya masih belum mereda, tubuhnya juga tiba-tiba nyeri. Tapi tidak apa-apa, dia akan baik-baik saja setelah kembali meminum paracetamol.

"Non!" Laksmi berlari masuk dan mengeluarkan sebuah kotak berukuran sedang warna biru terang dan menunjukkannya kepada Freya, wajahnya tampak cerah.

Freya menatap wanita di sampingnya dengan heran.

"Poppa ngirimin Non ini!" Ujar Laksmi semangat.

Freya  lalu membuka kotak yang diserahkan Laksmi, menampilkan sebuah kalung berlian dengan susunan berlian melingkar, sebuah berlian berbentuk hati yang cukup besar berperan sebagai liontinnya. Penuh gemerlap, disertai dengan kartu ucapan dari Tiffany & Co.

"Jaka bilang ini hadiah ulang tahun Non.. katanya Poppa pesan khusus. Cantik banget!"

Barbie, Polly Pocket dan rumah-rumahan besar telah berhenti dibelikan Poppa sejak usia delapan tahun, menurutnya Freya sudah cukup matang untuk menerima barang-barang bagus dan sebenarnya Davendra ingin membuat sang cucu senang dengan barang-barang yang hanya bisa diakses kalangan mereka, menurut sang kakek, itu akan sedikit meredakan kesedihan Freya pasca ditinggal Jannice.

Freya menatap kotak itu datar, jika sudah mengirimkan hadiah, Poppa-nya tidak akan ada untuknya pada hari ulang tahunnya, empat tahun belakangan, Davendra Loekseno semakin sibuk karena pelebaran sayap bisnis yang dilakukannya di Australia.

Tidak seperti sebelumnya di mana Freya akan selalu ikut dengan kakek dan nenek untuk trip ke Kalimantan ataupun Jakarta pada akhir pekan, kini mereka hanya bisa bertemu dengan Freya selama beberapa bulan sekali dalam setahun.

"Non nggak senang ya?" Ucapan Laksmi menariknya kembali ke masa kini.

Iya. Aku nggak butuh semua ini, aku cuman mau ketemu Poppa dan menghabiskan waktu sama Poppa lagi.

Namun kata-kata tersebut tertahan di tenggorokan, Freya tidak ingin terlihat seperti orang tidak bersyukur, sebab dia tahu Victor dan Violetta tidak akan pernah mendapat barang sebagus ini. Bagus menurut mereka. Violetta dan Tiana pasti akan jungkir balik dan kepanasan karena melihat Freya mendapat ini di saat mereka tidak mendapatkan apa-apa dari Poppa.

Dia kemudian menutup kotak tersebut dan meletakkannya secara asal di nakas, seolah benda seharga tiga ratusan ribu dolar itu tidak ada artinya.

"Acara malam ini.. Acara ulang tahun Tante, kan? Papa bakalan ada juga?"

"Iya, Non."

Freya tersenyum ketir. Dia tahu, ayahnya bukan pria yang buruk, selama ini Edison tidak pernah melakukan hal apa pun yang menyakiti Freya– justru itu yang sangat menyakitinya– ayahnya tidak pernah melakukan apa pun terhadapnya, melihat atau memanggilnya saja pun tidak. Bahkan ketika dia meminta Edison untuk hadir pada Parents' Meeting di sekolahnya, pria itu hanya menjawab, "Saya sibuk, jangan juga kamu minta Poppa, dia juga sibuk, minta Laksmi saja."

"Waktu Papa dan Opa kamu itu cuman untuk hal-hal penting." Timpal Tiana kemudian.

Usianya delapan tahun kala itu. Terpatri dengan jelas juga di ingatannya, tak berselang lama, dia melihat Violetta dipuji oleh kedua orang tuanya saat nilai pelajaran Bahasa Mandarin-nya memperoleh nilai 70.

"Hebat banget ya anak Papa! Mandarin susah loh.. Hadiahnya Papa kasih trip ke Chiang Mai weekend depan, ya? Kamu boleh ajak temen-temen kamu."

Sejak saat itu, Freya berjuang mati-matian untuk menjadi yang terbaik di kelasnya. Freya tidak butuh liburan ke Chiang Mai, yang dia inginkan hanya sekadar senyuman dari Edison dan ucapan "Hebat banget anak Papa."

Dancing with Our Hands TiedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang