Ch. 3: They're Both Pretending

184 19 3
                                    

 "Dulu dia tunanganmu," Toska menukas, memberi penekanan bahwa itu sudah lampau. "Sejujurnya aku tidak suka kita membicarakan pria lain."

"Kupikir kau akan tertarik membicarakannya." Angie menarik napasnya yang sedikit gemetar. Matanya menyapu jalan, sedikit lebih tenang karena ada banyak orang di sekitar mereka. Orang-orang ini adalah tamengnya. Dengan begitu banyak mata memandang, ia yakin Toska tidak akan berani menyakitinya, sesensitif apa pun topik pembicaraan mereka. "Sebab," lanjutnya lagi, meneguhkan diri, "kau tahu kan apa kata orang tentangmu ..."

Toska berhenti mendadak hingga Angie yang tadinya berada agak di belakang lelaki itu kini berdiri di sisinya. Mereka berdua berada di depan telepon umum berwarna biru tua, di sisi jalan yang ramai. Samar-samar tercium aroma roti yang baru dipanggang serta asap kendaraan. 

"Semua orang mengatakan sesuatu tentangku," Toska berkata lembut. Sepatunya mengayun satu langkah lebih dekat pada Angie. "Siapa orang yang kau maksud? Mereka bilang apa?"

Pagi ini dingin. Banyak orang memakai mantel dan pakaian berlapis-lapis. Di balik mantel barunya yang seputih salju, di balik lapisan gaun dan pakaian Angie, keringat dingin mengalir di punggungnya. "Bukan orang-orang tertentu," Angie menukas. "Hanya gosip."

"Gosip biasa tidak akan membuatmu cemas," Toska berkata seakan dirinya mengenal Angie, padahal mereka baru bertemu beberapa kali. Lelaki itu kembali berjalan, sebelah tangannya terentang ke samping dalam gerakan merangkul, tapi tangannya hanya menyentuh ringan pundak Angie, kemudian turun lagi ke samping tubuhnya. "Jika ada yang ingin kau pastikan, katakan saja. Aku siap mendengar," tambahnya lunak.

Kehangatan dalam nada suara itu justru membuat Angie semakin waspada. Namun ia bersyukur karena mendapat kesempatan untuk melanjutkan pembahasan mereka. "Orang-orang bilang, kau dan keluarga Karkun bermusuhan."
Ekspresi dingin dan serius yang barusan terlihat di wajah Toska segera luntur. Sebelah alisnya terangkat. Lelaki itu kelihatan bingung. "Bermusuhan?" ulangnya geli. "Itu bukan istilah yang tepat. Orangtuanya bahkan sering datang ke rumah kami, dulu." 

Kedatangan ke rumah Effendi cuma berarti satu hal: meminjam, entah meminjam uang atau koneksi. 

"Tapi kakak Karkun ... siapa namanya, ya?" Toska masih melanjutkan. "Sepertinya namanya Danna. Yah, orang itu memang tidak suka pada kami. Ada beberapa tuduhan yang dia lontarkan, tapi tudingannya tidak pernah dibawa ke meja hukum. Di dunia ini, para Santo dan Santa saja bisa dibenci tanpa sebab, apalagi orang biasa seperti kami?"

"Jadi kau tidak ada hubungannya dengan kematian Karkun?" balas Angie. Jantungnya berdentum begitu keras dalam dada. Ia bahkan tidak bisa mendengar suara bising orang di sekitarnya karena terlalu fokus menyuarakan pertanyaan itu. 

"Menurutmu aku ada hubungannya dengan kematian Karkun?"

"Aku bertanya duluan," balas Angie. 

Mereka berdua berhenti di halte bus. Beberapa orang yang tadinya sudah berada di sana segera bubar sendiri seakan mereka ada rencana mendadak. Toska mengedarkan pandangan, kemudian mengembalikan tatapan pada Angie yang masih menanti jawaban. 

"Kau ini tidak ada takut-takutnya ya, melontarkan langsung pertanyaan itu padaku," Toska berkata dengan secercah nada geli.

"Orang yang tidak punya apa-apa tidak akan takut kehilangan apa pun," balas Angie. Jika Toska mau menjawabnya, ia untung. Jika tidak, ia juga tidak rugi apa pun. Bahkan meski Toska marah dan memutuskan rencana pernikahan mereka, Angie justru jauh lebih bersyukur lagi. Sejak awal toh pernikahan mereka bukan keinginannya. 

"Kau punya keluarga," Toska mengingatkan.

"Orangtuaku sudah lama meninggal," Angie menukas, secara tidak langsung menyatakan bahwa ia tidak menganggap paman dan bibinya sebagai keluarga.

Cages: The Mafia's BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang