12. There's No Love Between Them

775 41 1
                                    

Angie memakai gaun musim panas lengan pendek warna putih dengan motif bunga lonceng biru. Gadis itu membawa dua buah tas jinjing. Melihat topi jerami lebar yang dikenakan Angie, Toska jadi bersyukur Lilac menyarankan boater hat untuknya. Mereka terlihat serasi.

"Gaunmu cantik," Toska memuji begitu Angie sampai di depannya. Ia mengangkat topi dengan sopan. "Hari ini panas, ya."

"Terima kasih, Bibi akan senang mendengarnya."

"Apa?" Memangnya aku memuji bibinya?

"Gaun ini ... dia yang memilih," Angie menjelaskan. "Kita bersama orang lain?" tanyanya begitu melihat supir turun dari mobil dan menyimpan kedua tas yang dibawanya ke dalam bagasi. Matanya menatap Toska heran. "Kau tidak menyetir sendiri, Effendim?"

"Kali ini tidak. Kenapa?"

"Tak apa. Kupikir kita benar-benar hanya pergi berdua."

Toska menaikkan kedua alisnya tinggi-tinggi. Apa maksudnya tadi? Apakah Angie kecewa atau malah lega karena ada orang lain menemani? Ia sukar menentukan mana yang benar berhubung ekspresi Angie tak banyak berubah.

"Kita butuh seseorang untuk mengangkut koper dan ... macam-macam," Toska menjelaskan seadanya. Tangannya melambai. "Namanya Roberto, aku biasa memanggil dia Rob. Rob, kemarilah, tunjukkan wajahmu pada Angie."

Rob mengenakan kemeja putih pendek yang dimasukkan ke dalam celana pantalon. Rambut cokelatnya yang panjang masai kali ini disisir rapi dan diikat rapat ke belakang kepala. Pria itu lebih tinggi lima belas senti dari Toska. Begitu sampai di hadapan Angie, Rob mengangguk singkat tanpa mengatakan apa pun.

Angie menatap Rob agak lama. "Aku merasa pernah melihatnya?"

"Dia menyambut kita di La Luna kemarin," jawab Toska. "Pekerjaan sampingannya adalah penjaga pintu di sana."

"Kenapa dia jadi supirmu?"

"Karena uang, Nona," jawab Rob dengan suara berat dan bosan. "Manusia butuh uang. Pekerjaan mendatangkan uang. Semakin banyak pekerjaan, semakin bagus."

Kedua pipi Angie merona menyadari pertanyaannya barusan kedengaran konyol. Toska menatap Rob tajam, menegurnya.

"Alasan lainnya adalah karena saya bekerja untuk Tuan Muda Effendi," Rob menambahkan. "Di mana pun dan kapan pun Tuan Muda mau saya berada, ke situlah saya pergi."

Penjelasan tambahan Rob justru membuat Toska merasa dirinya digambarkan sebagai majikan yang semena-mena. Ia buru-buru menyuruh Rob pergi sebelum pria itu menjerumuskannya semakin jauh ke dalam suasana tidak enak.

"Ah, aku sampai lupa, di mana paman dan bibimu? Aku perlu berpamitan."

"Tidak usah, Effendim. Asam urat Paman kumat hari ini. Paman dan Bibi ada di rumah sakit."

"Wah! Apakah separah itu?"

Angie menggeleng. Kepalanya ditundukkan, sehingga bayangan dari topi jeraminya menutupi wajah. "Tidak apa, bukan hal yang terlalu besar. Mereka sebenarnya bersikeras menunggumu datang, tapi aku meyakinkan mereka kau tidak akan keberatan kita langsung pergi. Benar, kan?"

"Tak masalah." Toska mengangguk. Ia membukakan pintu belakang mobil untuk Angie. "Silakan, Nona. Pemberhentian pertama, sekretariatan gereja."

***

Setelah menyerahkan berkas-berkas persiapan pernikahan ke sekretariat gereja dan mengisi formulir, mereka masih harus mengatur jadwal penyelidikan kanonik untuk pernikahan. Toska yang bicara dengan pastor sementara Angie lebih banyak diam dan hanya menjawab jika ditanya langsung.

Pernikahan ini toh tak ada artinya bagi Angie. Ia menghabiskan waktu memandang pelataran, mengamati burung dalam sangkar pastoran yang mengepak-ngepakkan sayap dan menggaruk punggung dengan paruhnya.

Kasihan, pikir Angie. Sekuat apa pun kau mengepakkan sayap, tetap saja mustahil bagimu keluar dari sangkar itu.

Angie memikirkan dirinya sendiri, merasa bahwa kehidupannya tak jauh beda dibanding burung dalam sangkar. Ia pernah hampir lepas. Ia pernah bermimpi untuk hidup tanpa kekangan, bersama orang yang dicintainya, tak lagi ketakutan dan waspada setiap mendengar bunyi tapak langkah atau melihat tongkat rotan. Namun bahkan mimpi sesederhana itu begitu sulit diraih. Ia keluar dari satu sangkar bukan untuk terbang bebas, melainkan pindah ke sangkar lain.

"Suka burung parkit?" Toska bertanya dalam mobil begitu urusan mereka selesai. Sekarang mereka sedang dalam perjalanan ke utara. "Di pastoran tadi kau terus-terusan memandangnya."

"Tidak Effendim." Burung itu justru mengingatkan Angie pada kondisinya saat ini. "Aku membencinya."

Toska tak bisa berkata-kata lagi begitu mendengar jawaban Angie. Lelaki itu menutup mulut dan mengalihkan mata keluar jendela yang terbuka lebar, memandangi jalan. Matahari membuat helai rambutnya yang diterbangkan angin terlihat biru gelap. Setiap kali melihat permainan cahaya itu, Angie selalu merasa keluarga Effendi seperti ayam. Ia pernah punya ayam hitam yang bulunya yang tampak kebiruan jika dilihat dari dekat.

Beberapa saat kemudian, Toska mengeluarkan kertas dari dalam saku kemeja dan membuka lipatannya, lalu menunjukkan isinya pada Angie. "Apa ada yang ingin kau lihat duluan nanti?" tanyanya, menunjuk jadwal acara dan denah lokasi pawai yang tertera. "Kembang api mulai agak malam, kita punya banyak waktu setelah meletakkan tas di hotel."

"Kupikir kita mau melihat festival?"

"Ya, festival dan pawainya mulai pukul lima sore, mengelilingi kota. Ada gedung pameran yang baru buka dua bulan lalu. Mereka membuat kesenian dari kaca yang katanya mencapai tinggi dua ratus meter dan berubah warna di bawah matahari."

Angie membaca kertas yang disodorkan Toska, yang ternyata adalah lembaran koran. Matanya otomatis terarah ke pojok kiri atas, membaca potongan berita tentang Karkun.

Keluarga korban masih melakukan aksi protes, menuntut agar penyidikan dilakukan secara transparan. Menanggapi hal tersebut, Kanit Reskrim

"Atau," Toska berkata ringan, sepertinya baru sadar ada berita tentang Karkun di situ. Ia menarik koran dan melipatnya jadi sangat kecil. Senyumnya terbit dengan manis. "Kita bisa makan dulu di restoran yang aku tahu."

"Aku belum selesai membaca," protes Angie. Surat kabar di rumahnya hanya memuat gosip dan kriminal kelas teri. Ia tidak lagi menemukan berita baru tentang kasus Karkun.

"Aku ingat isinya, tak masalah." Toska mengulurkan tangan keluar jendela yang terbuka dan berkata, "Ups!" ketika membuang koran tadi seakan tindakannya tidak disengaja. "Selain burung parkit," ucapnya, membelokkan topik. "Binatang apa lagi yang kau benci?"

"Semuanya," jawab Angie datar.

Toska tertawa canggung. Lelaki itu diam sepanjang perjalanan berikutnya. Angie justru bersyukur. Ia jadi bisa berpikir lebih jernih sekarang.

Alasannya menerima ajakan Toska adalah karena mereka pergi ke Utara. Ia ingat bahwa Pim ada di Utara. Dari percakapan Ash dan Paing, sepertinya kasid tersebut ada hubungannya dengan kematian Karkun.

Pim adalah kasid Ash.

Apakah Ash yang membunuh Karkun?

Lalu kenapa Ash waktu itu marah-marah menuduh Toska?

Banyak pertanyaan dalam benak Angie, tapi yang jelas adalah kepergian mereka ke Utara saat ini kemungkinan bukan hanya untuk melihat kembang api mengingat Toska membawa kasidnya. Dari cerita Nawa tempo hari, Angie tahu bahwa Dwi adalah kode untuk tukang pukul kembar yang selalu menjaga Toska. Nama keduanya sama: Roberto.

Keberadaan kasid itu meyakinkan Angie bahwa tak mungkin Toska sungguh-sungguh hanya mengajaknya menonton pawai. Angie tahu dirinya dijadikan alasan belaka. Mereka tidak benar-benar sedang kencan.

Sebab, Toska tidak mencintainya.

Angie pernah dicintai seseorang. Ia tahu bagaimana rasanya ditatap oleh pria yang mencintainya.

Di mata Toska tak pernah ada cinta.

***

Cages: The Mafia's BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang