9. Looking for Clues

1.2K 57 1
                                    

Andi adalah pria jangkung berusia tiga puluhan awal dengan tulang pipi tinggi dan tirus. Rambutnya diminyak dan disisir rapi ke belakang. Ketika melihat kedatangan Angie, pria itu mendecih tak senang.

"Namaku Angelica Wijaya," Angie memperkenalkan diri. Ia menunggu perkenalan balasan, tapi Andi tetap menyibukkan diri menempelkan label pada buku-buku dari balik meja kerja. Berpikir pria itu tidak mendengarnya, Angie mengulang lebih keras, "Namaku—"

"Angelica Wijaya!" sahut Andi tanpa mengangkat wajah. "Ya, aku tidak tuli."

"Oh aku tahu." Angie mengangguk. "Tadi kupikir kau bisu."

Andi melirik tajam dari tempatnya duduk. "Apa kau datang untuk bertengkar denganku, Nona?"

"Aku datang mencari seseorang bernama Andi."

"Tak ada orang bernama Andi di sini!" Andi menggerutu.

"Oh? Paing Respati memintaku datang ke sini menemui Andi. Petugas di depan mengantarku padamu, makanya aku berasumsi kau adalah Andi. Jika tak ada orang bernama itu, biar kumarahi Paing."

Wajah Andi memucat seiring setiap kata yang keluar dari bibir Angie. "Kenapa tidak bilang sejak awal kalau Paing yang meminta?!" gerutunya. Ia bangkit berdiri, meraih kursi terdekat, lalu meletakkannya untuk Angie. "Duduklah dan katakan apa maumu!"

Melihat betapa hebatnya efek nama itu kepada orang-orang, Angie berjanji akan lebih sering menggunakan nama Paing ke depannya. Ia duduk di tempat yang disediakan, agak gugup sekarang. Ruangan ini beraroma kertas-kertas lama dan lem kayu. Kipas langit-langit tergantung mati di plafon, tapi udara hari ini memang dingin.

"Sebentar lagi aku akan menikah dengan Toska Effendi," Angie berkata, berjaga-jaga kalau Andi tidak tahu. "Aku tidak tahu banyak soal keluarga itu. Paing memintaku datang ke sini untuk mendengar darimu."

Kening Andi terlipat dengan bingung. "Tanya saja langsung pada calon suamimu."

"Mencari tahu dari orang lain lebih obyektif."

"Mencari tahu dari orang lain hanya akan membuatmu mendengar selentingan dan rumor."

"Kita bisa belajar banyak dari apa yang orang lain katakan tentang kita."

Andi tertawa. "Kalau begitu, kau salah orang. Aku tidak tahu apakah Paing memang memintamu datang atau kau hanya menggertak, kau salah orang."

"Bukankah kau Peminjam dari Lilac Effendi? Sebagai orang dalam, tentunya kau lebih tahu."

Andi melotot. Seluruh tubuhnya bergetar, entah karena marah atau takut. Wajah pria itu terpilin dalam raut buas hingga Angie mengkeret takut.

"Tak adakah yang mengajarimu bahwa itu lancang?!" Andi hampir berseru.

Nawa sudah memberitahunya, tapi Angie lupa.

"Hati-hati," Angie berkata penuh peringatan. "Kalau mencari masalah dengan istri Toska Effendi, kau akan menyesal."

"Kau baru calon, belum jadi istrinya."

"Sekarang, besok, apa bedanya? Toska sudah melamarku. Sama saja aku sudah menikah dengannya," Angie meniru ucapan pamannya.

Andi tertawa sinis. "Percaya diri sekali. Tapi baiklah, aku mengerti." Ia berpikir sebentar. "Kau benar, aku bekerja untuk Nona Lilac Effendi. Hanya untuknya. Mau kau datang atas permintaan Paing atau Toska, aku tak peduli. Jika kau ingin sesuatu, sudah seharusnya kau membayar harga yang pantas."

"Sebutkan hargamu," Angie berkata tenang meski ia tidak membawa uang sepeser pun. Masalah uang bisa dipikirkan nanti, ia hanya ingin tahu sejauh mana dirinya bisa menggertak dan membual. Sebenarnya, ini sedikit menyenangkan bagi Angie. Jantungnya bahkan berdebar antusias dalam dada.

Cages: The Mafia's BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang