Hasta menggeret Angie pulang dan melemparnya ke ruang tamu dengan kasar. "Gadis sialan!" bentaknya marah. "Tak punya malu! Siapa yang mengajarimu jadi perempuan jalang?!"
"Aku tidak melakukan apa-apa," kata Angie dengan suara lirih, hampir tak terdengar pamannya. Ia berusaha bangun dari lantai, tapi lututnya sakit.
"Kau tahu mata dan telinga Effendi ada di mana-mana dan kau malah memeluk lelaki lain! Di jalan! Kau sama saja meludahi mukaku!" teriak Hasta. Ia mondar-mandir di dekat Angie yang masih terpekur di lantai. "Kau sama saja seperti ibumu! Persis! Mukamu persis, kelakuanmu persis! Seharusnya namamu bukan Wijaya!"
Nawa mendengar keributan itu dan segera turun dari kamar menuju asal suara. Ia memekik melihat Hasta sudah meraih sulak dari atas lemari, siap mengayunkan rotannya pada Angie.
"Sayang! Hentikan! Kau gila! Jangan lakukan!" Nawa menjerit. Ia memasang badan di depan Angie dengan kedua tangan mengepak-ngepak di udara seperti burung tak bersayap. "Toska Effendi akan membunuh kita!!"
"Dia memang akan membunuh kita kalau tahu apa yang terjadi hari ini!" bentak Hasta. "Andai aku tidak makan di luar hari ini dan memergoki mereka, mereka pasti sudah berhubungan intim di jalan!"
Angie tidak sanggup berkata-kata. Matanya basah. Serendah itukah ia di mata Hasta? Danna memeluknya dan ia belum sempat bereaksi. Hanya itu. Mereka tidak melakukan apa-apa saat Hasta datang. Ia bahkan tidak membalas pelukan Danna.
"Apa yang terjadi?" Nawa kebingungan. Ia mendorong dada suaminya, menahannya agar tenang. "Sayang, tarik napas. Tarik napas. Tenangkan dirimu." Ia menoleh pada Angie dan menghardik dalam bisikan, "Sedang apa?! Bangun dan minta ampun pada pamanmu! Cepat!"
"Aku tidak salah," Angie berkata penuh harga diri. Ia mencoba bangkit, tapi gagal. Tungkainya lemas. "Kenapa Paman cuma marah padaku padahal Danna yang melakukannya? Paman bahkan tidak menegur Danna! Paman langsung menggeretku pulang dan marah padaku!"
"Dia tak mungkin berbuat begitu kalau bukan kau yang memancing! Perempuan murahan! Kau tetap menemui Karkun meski keluarga Effendi sudah melamar! Kau berbohong pada paman dan bibimu untuk bermain gila dengan lelaki rendahan di gedung arsip sampai Toska perlu datang ke sini tengah malam! Apa kau gila?! Dia memaafkanmu tapi kau masih juga merayu lelaki lain?! Apa tak cukup bagimu membunuh Karkun?! Kau juga ingin membunuh keluargamu juga?!"
"Keluarga apa?" Angie meradang. "Memangnya Paman pernah memperlakukanku sebagai keluarga?! Bukankah aku keponakan Paman?!"
"Kau ..." Hasta merah padam. Ia mengacungkan rotan sulaknya dengan gemetar.
Nawa mengelus-elus dada suaminya, menenangkan. "Ingat darah tinggimu, ingat darah tinggimu," bisiknya berulang kali seperti sedang berdoa.
Hasta melempar sulak keras-keras ke dinding hingga beberapa bulu ayam berwarna hitam kebiruan terbang copot dan terbang ke udara. "Keponakan apa?!" serunya keras-keras. "Aku tak punya keponakan memalukan sepertimu!"
"Hasta ... !" Nawa menegur.
Hasta tak peduli. Pria itu berjalan keluar rumah dan membanting pintu begitu kencang hingga bunyinya mirip ledakan meriam.
Nawa menggeleng pelan. Ia membantu Angie bangun dan duduk di sofa. "Apa yang terjadi padamu, Angie? Itu tadi benar? Kenapa kau jadi gampangan seperti ini ...?"
Angie menoleh tajam pada Nawa. "Bibi," katanya, "apakah aku mirip Ayah?"
"Apanya?"
"Paman bilang aku mirip Ibu. Tapi aku mirip Ayah, kan? Waktu Paing datang, dia bilang aku mirip Ayah!"
Nawa mengamati keponakannya dengan saksama. "Bagaimana ya, menurutku wajahmu memang persis Kak Ayudya. Lihat saja foto-foto di album lama. Namun Paing sering menemani Mustafa Effendi ke mana-mana, jadi dia pasti pernah bertemu Kak Saka beberapa kali. Kalau dia bilang kau mirip ayahmu, pastilah di matanya memang ada kemiripan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cages: The Mafia's Bride
Mystery / Thriller#1 mystery-thriller #1 pembunuhan Keluarga Effendi mengurus bisnis simpan-pinjam di Umulbuldan. Uang, jasa, waktu, mereka akan meminjamkan apa pun dalam jumlah sebanyak yang dimau-tanpa bunga. Orang-orang yang meminjam hanya akan diminta untuk datan...