Pulang. Hanya kata itu yang tersangkut di telinga Karkun. Ia tidak bisa mencerna rentetan kalimat lain yang diucapkan Toska.
"Aku bicara begini juga demi kebaikanmu," Toska menggeleng pasrah. "Jalan-jalan di Umulbuldan makin gelap setiap harinya, dan semua orang tahu rute pulang kerja ibumu. Semua orang-tentu saja termasuk pria hidung belang. Siapa lagi yang bisa melindunginya kalau bukan kau?"
Sengatan panas menusuk ulu hati Karkun. Ia hendak mengumpat, tapi berhasil menahan lidahnya begitu menangkap bayangan dua raksasa penjaga Toska. Penerangan begitu minim dan matanya buram, ia tidak bisa melihat siapa pun. Ia bahkan tak bisa melihat seperti apa mimik muka Toska saat melontarkan ancaman serendah itu.
Itu cuma ancaman kosong, Karkun meyakinkan dirinya sendiri. Dia cuma bocah yang baru menginjak usia dewasa. Ulang tahun Toska yang kedua puluh dirayakan besar-besaran awal bulan lalu, Karkun masih ingat dengan jelas.
Namun bocah dua puluh tahun itu adalah Toska Effendi, putera Effendi yang membawahi pembisik dan tukang pukul di Umulbuldan. Karkun tahu benar setiap ancaman dari bibir si bocah jelas tak bisa diabaikan. Ia sendiri sudah merasakan bagaimana akibatnya meremehkan seorang Effendi.
Karkun tidak ingin membahayakan keluarganya, tapi juga tidak bisa melepaskan Angie. Tidak mungkin.
Toska memperhatikan ekspresi Karkun dengan geli. "Kau segitu mencintainya?"
Pertanyaan barusan terdengar aneh. Rasanya seperti ada simpati terselip di sana, tapi Karkun mencemooh dirinya sendiri. Telinganya jelas rusak kalau ia sampai mendengar Toska bersimpati. Pemuda itu monster.
"Ada banyak ikan di laut, banyak manisan dijual. Kenapa memilih satu yang sudah dipesan orang lain? Bukankah itu berarti kau memang ingin cari gara-gara dengan yang punya?"
Manusia bukan obyek dagangan. Wanita bukan sekadar permen terbungkus plastik dalam toples. Bibir Karkun terlalu sakit untuk meneriakkan kalimat-kalimat barusan. Ia hanya bisa menatap marah dengan sebelah mata yang masih bisa terbuka.
"Kalau kau cuma menatapnya dari kejauhan, atau menyimpan potretnya di balik bantal, atau bahkan menyebut namanya sambil merancap tiap malam, itu bukan urusanku." Toska bangkit, menimbulkan suara gemerisik lembut saat mantel panjangnya berkibas. "Tapi membawa pergi calon istri orang adalah kejahatan besar, Tukang Ketik. Apalagi calon istriku."
Sebelah mata Karkun mengerjap, menjatuhkan air ke debu tanah. Ia mengangkat kepala beberapa mili, memberi tatapan menuduh. "Kau sendiri tidak mencintainya."
Keheningan melingkupi ruangan. Toska berhenti sesaat di depan kursinya sebelum kembali duduk di sana.
"Memang tidak." Toska mengangkat bahu. "Kita tidak hidup dalam cerita dongeng. Pernikahan tidak melulu soal cinta. Kalau kau memang mencintainya ... kalau kau punya sedikit saja rasa sayang untuknya, bayangkan dia mengalami segala yang terjadi padamu di gubuk ini. Bayangkan hal terburuk yang bisa terjadi pada gadis muda sepertinya—."
Karkun meradang. Ia menyumpah, merutuk, memaki dengan suara makin lama makin melemah putus asa.
"Percaya atau tidak, aku di sini untuk membantu kalian," Toska menyela kalem. "Telepon Angie dan putuskan hubungan kalian. Lakukan perintahku maka kalian selamat."
Perintah itu gamblang dan dingin. Karkun tahu Toska serius. Sesuatu yang gelap dan tajam bergolak dalam perutnya, naik ke ulu hati, menembus kepala. Baru kali ini dalam seumur hidupnya ia merasakan kebencian yang begitu dalam pada seorang manusia. Kebencian yang juga membawa rasa takut luar biasa. Ia merasa begitu menyedihkan karena dibanjiri rasa takut, karena tidak berdaya di hadapan pemuda yang jauh lebih muda darinya.
Tadinya Karkun masih mencoba meyakinkan diri bahwa semua rasa ngerinya berasal dari tukang pukul yang menjadikannya bulan-bulanan. Sekarang barulah ia menyadari bahwa yang membuatnya melonjak ngeri dan terintimidasi sejak awal bukan orang-orang suruhan itu melainkan Toska Effendi sendiri—yang setiap ancamannya diucapkan tanpa tergesa, tanpa kehilangan tempo, dan dengan penuh kesungguhan.
Sebuah kesadaran menghantam Karkun lebih keras dan menyakitkan daripada pukulan bertubi-tubi yang telah ia dapatkan; kesadaran bahwa semuanya akan berakhir. Setelah malam ini, atau bahkan setelah menelpon Angie, ia tahu apa yang akan terjadi. Bahkan meski Toska berjanji untuk melepaskannya, siapa yang bisa menjamin seorang Effendi akan menepati janji?
Karkun memejamkan mata, ingin mengumpulkan kenangan yang menyenangkan sebanyak-banyaknya untuk dibawa ke alam lain. Aneh, yang lewat dalam benaknya hanya berkas-berkas yang perlu diketik ulang, tulisan-tulisan tangan terjelek yang pernah didapatnya, rekan-rekan kerja yang selalu mengolok kekakuan sikapnya, serta tatapan dingin kakaknya.
Satu butir air hangat mengalir turun dari sudut mata Karkun, menetes melewati hidung. Seluruh kekuatannya lenyap tanpa bekas, bahkan rasa sakitnya pun sedikit memudar. Ia tersedu, mendadak merasa begitu pengecut karena ingin selamat. Ia ingin pulang. Ia ingin kembali pada pekerjaannya yang membosankan, pada hari-harinya yang monoton dan biasa.
Toska masih ada di depannya, memberi tatapan menuntut jawaban. Karkun menelan ludah, mulai terbujuk untuk menelan harga dirinya dan memohon. Mungkin Toska tidak akan peduli, mungkin ia tetap akan berakhir sama, tetapi mencoba tidak pernah ada salahnya. Atau mungkin ia bisa mencoba mengutuk, mengancam, apa pun! Karkun merasakan desakan yang kuat untuk mengatakan sesuatu. Ia membuka bibir, mencari-cari kalimat dalam kepalanya.
"Aku akan bebas?" pertanyaannya kering. Terdengar sember, seperti keluar dari gitar tua yang tak pernah disetem. Karkun bahkan tidak bisa mengenali suaranya sendiri. Lewat sebelah matanya yang minus dan kabur karena air mata, ia merasa melihat Toska tersenyum lebar.
"Tentu saja," sahut pemuda itu manis, terlalu manis.
Sebelum Karkun sempat merespons, sebuah suara menyela mereka dari luar gubuk.
Suara kesiap napas manusia.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Cages: The Mafia's Bride
Misteri / Thriller#1 mystery-thriller #1 pembunuhan Keluarga Effendi mengurus bisnis simpan-pinjam di Umulbuldan. Uang, jasa, waktu, mereka akan meminjamkan apa pun dalam jumlah sebanyak yang dimau-tanpa bunga. Orang-orang yang meminjam hanya akan diminta untuk datan...