"Aku hanya pergi sebentar, tapi kau sudah kangen?" gurau Toska begitu Angie muncul dari tempat persembunyian.
Bob hanya menatap Angie sekilas, kemudian mengalihkan pandangan.
"Kebetulan, aku jadi bisa memperkenalkan kalian." Toska menarik punggung dari dinding tempatnya bersandar dan berjalan ke tengah-tengah antara Angie dan Bob. "Dia saudara kembar Rob. Namanya juga Roberto. Aku memanggilnya Bob. Kau mungkin akan sering bertemu dengannya."
Bob kelihatan lebih sangar dan keras ketimbang Rob. Rambutnya keriting sebahu, berwarna kecokelatan karena matahari, dan dibiarkan tergerai masai. Otot-otot bahunya kelihatan jelas dari balik pakaian yang ketat. Pria itu mengangguk sopan pada Angie, tidak mengatakan apa pun selain menyapa, "Nona." Matanya dialihkan kembali kepada Toska saat pamit pergi.
Begitu Bob masuk ke dalam lift dan hilang dari pandangan, Angie memejamkan mata dan merapatkan rahang, bersiap untuk mendapat minimal bentakan.
"Takut sendirian?"
"Apa?" Angie membuka mata, memandangi wajah Toska dengan heran.
Lelaki itu balas menatapnya dengan rasa penasaran yang tulus. "Kau menyusulku karena takut sendirian? Atau kenapa?"
"Oh ... aku cuma penasaran siapa yang kau temui," Angie menjawab jujur lantaran tidak siap dengan pertanyaan aneh itu.
"Ah, lain kali kau bisa bilang saja kalau ingin ikut," Toska tertawa. "Aku akan mengajakmu serta."
Oh? Dia tidak marah aku menguping? Angie merasa sedikit lega, meski tetap waspada. Masih segar dalam ingatannya pembicaraan antara Bob dan Toska barusan. Pim mati. Pim. Orang yang didengarnya tahu sesuatu tentang Karkun.
"Mau kembali ke kamar? Atau turun untuk minum kopi di restoran?"
Setelah berjalan-jalan selama seharian penuh, Angie merasa ia tidak sanggup berpisah lama dengan kenyamanan kamar, jadi ia memilih kembali. Toska berjalan di sisinya dengan kedua tangan bertaut di belakang punggung. Lelaki itu melanjutkan dengan nada santai seperti biasa, "Sebenarnya aku berniat sekalian menemui seseorang selagi di Utara. Sayangnya, dia sudah meninggal duluan. Besok aku mau mengecek keluarganya setelah mengantarmu pulang."
"Yang meninggal itu Pim Saät?"
"Benar. Kau mendengar dari awal, ya? Pria malang."
Sikap terus terang Toska justru membuat Angie kebingungan. Apa lelaki itu memang tidak ada hubungannya dengan kematian Karkun? Lalu kenapa tewasnya Pim justru bagus bagi Toska?
"Boleh aku ikut?" Angie bertanya begitu sampai di dalam kamar. Mereka benar-benar sudah berada dalam ruang pribadi dan lelaki itu masih tidak memarahinya, jadi Toska memang bukan sedang menahan emosi di tempat publik seperti yang biasa dilakukan Hasta; itu berarti tunangannya memang tidak merasa perlu menyembunyikan isi pembicaraannya dengan Bob.
Karena, Angie memikirkan sebuah kemungkinan, dia tidak tahu bahwa aku tahu Pim berhubungan dengan kematian Karkun.
"Ikut ke mana?" Toska bertanya. Ia membuka lebar-lebar jendela geser yang menjadi dinding balkon. "Ke tempat Pim?"
Angie mengangguk. "Bukankah kalau aku bilang, kau akan mengajakku?" ungkitnya.
"Aku mau saja mengajakmu. Tapi ... kau yakin? Kita datang ke sini untuk melihat festival."
"Tak apa. Aku bawa gaun hitam," ucap Angie, mulai bersyukur pada bibinya yang ngotot memasukkan gaun hitam untuk berjaga-jaga kalau Toska membawanya makan malam di tempat mewah.
"Ini bukan soal gaun."
"Aku tahu, hanya ingin bilang saja bahwa aku siap."
"Kenapa kau tertarik sekali?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cages: The Mafia's Bride
Misteri / Thriller#1 mystery-thriller #1 pembunuhan Keluarga Effendi mengurus bisnis simpan-pinjam di Umulbuldan. Uang, jasa, waktu, mereka akan meminjamkan apa pun dalam jumlah sebanyak yang dimau-tanpa bunga. Orang-orang yang meminjam hanya akan diminta untuk datan...