Ch. 47: The Road Home

136 9 3
                                    

Ketika kembali lagi ke mobil di mana Paing menunggu, Toska berusaha menjaga agar mimik mukanya tetap biasa saja, tapi penolakan Angie membuatnya terlalu terpukul hingga ia justru kelihatan seperti kena vertigo. Ia masuk ke pintu belakang tanpa mengatakan apa pun, tapi bersumpah tidak akan pernah melupakan bagaimana ekepresi Paing ketika memandangnya dari jalan. Pria itu pasti sudah menduga ada yang tidak beres dan sekilas, hanya satu detik saja, ekspresinya berubah penuh kepuasan dan sukacita.

Toska menduga Paing merasa terkhianati karena tidak dilibatkan dalam perencanaan longsor kedua di Sangga Buwana. Pria itu menganggap dirinya sendiri sebagai orang kepercayaan, tangan kanan Tuan dan Nyonya Effendi. Fakta bahwa ia tidak mendengar apa pun soal rencana Toska terasa seperti tamparan di pipi, tapi Paing tidak berani menyalahkan Marissa. Wanita itu adalah junjungannya, tempat ia meletakkan kesetiaan paling tinggi. Maka Paing membelokkan kekecewaannya pada Toska, yang menerima semua itu dan mencatatnya dalam hati, hanya agar ia tahu siapa saja yang bisa dipercayainya.

Bagi Toska, semua ini bukan masalah pribadi, jadi ia tidak peduli.

"Sugeng sudah siuman. Sayangnya dia belum bisa diajak bicara," Paing memberitahu sambil jalan, "Dia dipanggil pergi dari CU dan dihajar di luar agar tidak membuatmu curiga mendengar kegaduhan. Sugeng tidak akan pergi begitu saja tanpa izinmu, kecuali yang memanggilnya adalah orang yang ia kenal dan percaya. Itu berarti ada pengkhianat dari sisimu."

Toska mengangguk, sudah menduganya. Ia curiga pada Dwi atau Catur. Nina dan Mayang bisa dicoret dari daftar kecurigaan. Setelah suaminya dibunuh dua tahun lalu, Nina hanya mau percaya pada Toska, jadi wanita itu tak mungkin mengkhianatinya. Mayang tak bisa dibeli. Lagi pula selain Lilac tak ada yang tahu wanita itu adalah kasid Toska. Di lain pihak, Dwi membutuhkan uang dan mendambakan kebebasan. Catur terlalu mata duitan, hutangnya menumpuk di mana-mana. Meski Toska sudah memberi mereka pekerjaan bagus serta upah tinggi, tetap saja orang lain mungkin membeli kasidnya dengan harga yang cukup.

Rob kena tembak, jadi kemungkinannya hanya tinggal satu.

"Catur," ucap Toska. "Dia tahu di mana aku, juga bisa memancing Sugeng untuk pergi meninggalkan CU tanpa banyak ribut."

"Kau mau aku mengurusnya?"

Toska memejamkan mata, memijat tempat di antara kedua alisnya. Catur masih anak-anak, tahun ini bahkan belum tujuh belas. Pemuda itu hidup bersama dengan ibunya yang pemarah dan sakit-sakitan. Ia benar-benar berharap Catur tidak melakukannya. Selama ini Catur mengerjakan segala perintahnya dengan baik, begitu bangga bekerja untuknya, dan punya kecerdikan melaksanakan perintah meski punya tendensi membual.

Apa yang membuat Catur berkhianat? Uang? Pekerjaan yang lebih baik?

Pemuda itu mungkin menganggap ini masalah sepele yang akan dimaafkan hanya dengan cengengesan seperti biasa. Catur mungkin hanya dimintai informasi di mana Toska berada lalu diminta memancing Sugeng pergi dari CU tanpa menyadari betapa fatal hal tersebut bagi Toska. Seandainya aku memberinya uang lebih banyak, apa ini bisa dihindarkan? Toska menggeleng sedih. Tak ada habisnya jika menuruti keinginan orang yang tamak. Andai Catur lebih setia, pemuda itu akan mendapat kekayaan dan kekuasaan, bukan berada dalam daftar orang yang harus dilenyapkan.

"Pastikan dulu memang dia," Toska memberi instruksi. "Setelahnya, lakukan dengan cara kita."

"Keluarganya?"

"Kenapa dengan keluarganya?"

Paing tersenyum tipis. "Dibiarkan di Umulbuldan maka kasid Ash yang lain akan memanfaatkannya, memburunya seperti anjing gila untuk mendapatkan terima kasih darimu."

Toska tahu kelemahan sistem peminjam yang dimanfaatkan keluarga Effendi. Orang-orang ini belajar bahwa jika mereka melakukan sesuatu yang berguna, mereka akan mendapat hadiah. Toska hanya mengumpulkan orang-orang yang bisa berpikir, tapi Ash mementingkan orang-orang kuat. Sayangnya, kebanyakan orang dengan gumpalan otot alih-alih otak justru selalu punya inisiatif aneh. Contohnya Pim.

Jika ibu Catur dibiarkan di Umulbuldan, skenario Paing memang masuk akal terjadi. Dalam benak Toska terbayang wanita tua berambut merah yang memiliki hidung pesek dan wajah berbercak seperti Catur.

"Usir dia dari kota ini," putusnya. "Bagaimana dengan Ash?"

"Dia sudah menyiagakan anak buahnya di seluruh kota, memerintahkan mereka untuk menangkap dan menghajar anak buah Amir jika ada. Keluarga Tin tidak akan bisa apa-apa karena Amir sendiri yang duluan muncul di wilayah kita." Paing mengangguk. "Aku akan menghubungi orang-orang kita di media dan membuat kejadian ini hanya terlihat sebagai pertarungan antar geng, dengan begitu akan mengalihkan orang-orang dari sasaran sebenarnya: Gentala. Itu juga akan membuat Tin berjaga-jaga dan tidak turut campur terang-terangan, kecuali mereka ingin muncul di berita terlibat dengan kelompok mafia."

"Bagus."

"Aku akan kembali ke Antargata setelah membereskan Catur. Jangan sekali-kali kau pergi sendirian," Paing memperingatkan seakan Toska belum tahu. "Kau yang diincar karena bukti-bukti itu, jadi mereka akan mencoba membunuhmu lagi."

"Aku tahu." Toska memandang keluar jendela, memperhatikan betapa cepatnya pepohonan lewat digantikan hamparan ladang pertanian. "Buat kecelakaan di dekat rumah Angie," ujarnya. "Perampokan, penguntitan, kecelakaan, apa pun, supaya polisi bisa sering berkeliaran di sana dan menjaganya."

"Dia tidak akan kenapa-napa, kau lupa dia putri orang yang ingin membunuhmu?"

"Kau yang lakukan atau aku?" Toska tidak suka dibantah tanpa dasar.

Paing mendesah keras, menepuk pelan roda kemudi, dan berkata dengan nada mengalah yang dilebih-lebihkan, "Baiklah, dua kali perampokan, satu orang dicelakai."

"Jangan ada korban."

"Jika tidak ada korban, polisi akan sulit digerakkan, bahkan meski aku punya teman di sana."

Toska tahu itu benar. Namun tetap saja ia enggan membuat keributan berantai atau melukai orang yang tak terlibat. "Jangan ada darah," akhirnya ia berkompromi.

"Daulat tuanku. Apa ada perintah lain?"

Toska hanya tersenyum mendengar olok-olok Paing. "Tidak ada. Kembalilah ke Antargata dan dampingi ibuku. Aku khawatir terjadi sesuatu dengannya."

Wajah Paing menegang. "Kau cuma menakut-nakutiku seperti biasa," tuduhnya.

Tidak ada jawaban. Toska menyilangkan lengan di depan dada dan menyandarkan punggung dengan relaks. Matanya terpejam, kembali membayangkan apa yang terjadi di rumah Wijaya tadi. Ia sebenarnya tidak bermaksud mencium Angie. Apa yang dipikirkannya? Seharusnya sejak awal ia tidak datang menemui gadis itu. Sekarang, Angie benar-benar akan membencinya, ia yakin. Dalam rasa frustrasinya, Toska menendang bangku di depannya keras-keras, membuat Paing terlonjak dan banting setir ke kiri. Di detik yang sama, sebuah mobil sedan hitam melintas ngebut, menggores sisi bodi mobil mereka. Akan terjadi tabrakan keras andai Paing tidak banting setir tadi.

Dua mobil lain muncul dari kelokan jalan dan berhenti di depan mereka dengan suara mendecit keras. Setiap pintu membuka bersamaan. Orang-orang bertopi keluar dari sana.

"Menunduk!" teriak Paing.

Toska tidak perlu disuruh dua kali.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 25 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cages: The Mafia's BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang