Keesokan harinya, Toska membawa Angie ke danau buatan di Buldan Timur. Mereka bisa menyewa perahu dan mengayuh sendiri atau naik gondola yang sudah dilengkapi gondolier. Ingin pamer, Toska menyewa perahu kayuh biasa. Angie yang awalnya ragu-ragu dan berpegangan erat ke kedua sisi perahu lama-lama jadi semakin relaks begitu melihat Toska pandai mengendalikan arah dan laju perahu.
“Kau sepertinya ahli menyetir banyak kendaraan,” komentar Angie.
“Aku bisa menyetir pesawat juga,” ucap Toska meski ia baru belajar dan harus dibantu pemandu lalu lintas udara. “Bulan Agustus biasanya ada banyak angsa di sini,” katanya.
“Oh ya? Tahu dari mana? Sebelumnya pernah datang dengan seseorang?”
“Aku sering bepergian,” jawab Toska pendek. Ia menepi di tempat yang teduh, di samping taman yang dihias hamparan tulip warna-warni. “Cantik, kan?"
“Suka bunga tulip?” tanya Angie.
“Kupikir kau suka?” balas Toska. Bukankah biasanya perempuan menyukai bunga? Adiknya bisa memandangi tanaman berjam-jam tanpa bosan setiap hari. Apakah Angie tidak suka?
“Biasa saja. Tidak sesuka itu."
Toska keheranan. “Begitu? Aku mengajakmu ke sini karena kupikir kau suka bunga tulip …"
“Dari mana tebakan itu?”
“Waktu mendengarkanmu menyanyi,” Toska berkata, “waktu itu kau menggenggam bunga tulip.”
“Kau mungkin salah lihat, Effendim." Angie mengalihkan wajahnya dari taman bunga. Ia memandangi air danau yang berkilau ditimpa sinar matahari. “Aku tidak pernah menyanyi di gereja, apalagi sambil membawa tulip.”
“Yang kulihat memang bukan di gereja?” balas Toska heran. “Kau menyanyi di padang terbuka, di dekat tanah lapang balai kota. Aku bukan bermaksud menguping,” susulnya, tak ingin disangka orang aneh. “Cuacanya panas sekali, jadi aku berteduh. Lalu malah ketiduran dan terbangun mendengar nyanyianmu."
“Dekat balai kota …?”
“Dua tahun lalu, bulan Maret. Lagu Amazing Grace. Suaramu merdu sekali."
“Omong kosong.”
“Apanya?"
Toska menyesal menceritakan kejadian itu karena setelahnya Angie mengunci mulut, tak mau lagi mengobrol dan hanya menjawab sepatah dua patah kata, juga tak mau menatapnya. Wajahnya disembunyikan di balik topi.
***
Angie tidak mengerti sekarang. Ia tidak bisa memahami perasaannya. Wajahnya terasa panas sejak tadi hingga ia tidak kuat menatap wajah Toska. Lelaki itu tidak bohong soal pernah mendengarnya menyanyi. Apakah itu berarti Toska memang menyukainya? Apakah ia bisa percaya semua kata-kata lelaki itu? Ketika Toska bilang tidak ada hubungannya dengan kematian Karkun, bisakah ia percaya?
Perasaan Angie berkonflik begitu mengingat Karkun. Bagaimana bisa ia asyik sendiri dengan perasaannya padahal Karkun tewas dengan tragis?
Tidak boleh! Angie mengingatkan dirinya sendiri dengan keras. Tidak boleh ada perasaan apa pun. Tidak pada orang yang mungkin membunuh Karkun!
“Besok mau jalan-jalan lagi?” Toska bertanya begitu mengantar Angie pulang sore harinya.
Angie menggeleng. Semakin lama bersama dengan Toska, rasanya selalu ada hal-hal baru yang menarik dari diri lelaki itu yang membuat Angie ingin melupakan pembalasan dendamnya, membuatnya ingin hidup damai tanpa tahu apa-apa. Jadi pilihan yang paling benar sekarang adalah ia harus menjauhkan diri, setidaknya sampai segala misterinya sedikit bisa terbaca, sampai ia yakin dengan perasaannya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cages: The Mafia's Bride
Misterio / Suspenso#1 mystery-thriller #1 pembunuhan Keluarga Effendi mengurus bisnis simpan-pinjam di Umulbuldan. Uang, jasa, waktu, mereka akan meminjamkan apa pun dalam jumlah sebanyak yang dimau-tanpa bunga. Orang-orang yang meminjam hanya akan diminta untuk datan...