Ch. 16: Personal Investigation

553 37 2
                                    

Kematian Pim yang begitu mendadak di depan matanya sendiri membuat Ella cukup terpukul. Selama beberapa jam setelah kejadian, ia bahkan masih belum bisa menerima bahwa saudara kandungnya, kakak yang paling ia andalkan, tiba-tiba berpulang begitu saja. Suami keduanya yang mengurus segala tetek bengek soal pemandian jenazah dan pemakaman berhubung Ella masih bingung. Semalaman penuh ia hanya duduk terpekur di sisi jenazah dalam peti mati.

Pada dini hari, ayam jantan berkokok, menyadarkan Ella dari lamunan akan kenangan masa kecilnya bersama Pim. Saat melayangkan pandangan untuk yang kesekian kalinya ke arah peti mati berselubung kain renda putih, barulah Ella menyadari bahwa itu kain mahal, dan peti matinya juga terbuat dari kayu bagus yang kokoh. Ella bangkit berdiri dan menengok ke dalam peti. Matanya mengerjap keheranan melihat jenazah kakaknya, yang sudah dipermandikan dan dirias, kini memeluk kitab suci serta kalung rosario dengan salib perak.

Dari mana semua ini? Ella yakin tak mungkin lingkungannya yang serba pas-pasan mau memberi sumbangan. Ia mengedarkan pandangan ke sekitar, kini baru benar-benar menyadari bahwa segala hal yang tersedia, mulai dari bunga, dupa, tirai, kursi-kursi, tenda di luar rumah, semuanya terlalu bagus untuk ukuran orang sepertinya.

Kegelisahan merayap menyelimuti hati Ella begitu ingat bahwa yang mengatur semua hal soal pemakaman adalah suami keduanya. Tidak seperti suami pertamanya yang kasar dan tukang pukul; Darma, suami keduanya, adalah pria baik-baik, pekerja keras, sayang keluarga, hanya saja kurang perhitungan dan sedikit lambat berpikir dalam situasi mendesak. Mungkinkah suaminya termakan bujukan orang dan menambahkan ini-itu pengeluaran yang sebenarnya bisa ditekan? Pemakaman yang indah memang pantas untuk mengantar Pim, tapi mereka juga harus memperhatikan kondisi keuangan keluarga, terlebih dengan hadirnya bayi.

"Ella?" Darma melangkah masuk ke dalam rumah, baru saja memisahkan diri dari kerumunan tetangga dan kerabat yang masih memenuhi halaman, membantu menemani dalam suasana duka. Tanpa mengatakan apa pun, pria itu beranjak mendekati Ella dan merangkulnya dengan hangat.

Ella kembali tercekat. Ia hampir saja menangis lagi, andai tidak ada masalah lain yang lebih berat. "Sayang," bisiknya parau, "ini ... peti matinya dari mana? Lalu tendanya? Tirai-tirainya pinjam siapa?"

Darma melepaskan diri. Matanya memandang heran. "Lho, bukankah kita sudah membicarakan ini tadi sore? Ah, memang kondisimu saat itu masih bingung ... kemarilah sebentar La," katanya sambil membimbing Ella untuk duduk di kursi bambu terdekat. Kedua tangannya menggenggam jari-jari tangan Ella, menjadikannya satu dalam tangkupan. Senyum di wajah Darma mengembang tipis saat menjelaskan, "Tadi sore, seseorang datang. Dia mengaku sebagai kasid Effendi."

Jantung Ella mencelus. Ia mengenal istilah itu. Ia tahu nama itu. Siapa yang tak mengenal keluarga Effendi di Umulbuldan? Ada banyak keluarga kaya berserakan di negara yang timpang ini. Beberapa di antaranya menjadi raja-raja kecil di kota di mana mereka berdiam. Effendi adalah salah satu di antaranya. Bisa dibilang, Umulbuldan berada dalam genggaman tangan mereka.

"Kau meminjam dari mereka?" bisik Ella resah. Meminjam adalah hal yang mudah. Semua orang bisa melakukannya, bahkan anak kecil sekalipun. Bagian tersulitnya adalah mengembalikan apa yang dipinjam. Dari mana mereka akan mendapatkan kembali uang pinjaman? Lalu bagaimana dengan bunganya? Benak Ella terasa penuh. "Caca ... mana Caca?"

"Ibu di kamar bersamanya, tidak apa-apa," Darma menjawab sambil mengelus-elus lengan Ella. "Dan aku tidak meminjam apa-apa ... mereka ... kasid itu tadi datang dan berkata bahwa Toska Effendi akan mengurus biaya pemakaman. Semua ini darinya." Tangan Darma mengibas ke sekitar mereka. "Dia juga yang membiayai dana penggalian dan penguburan makam, misa requiem, dan mengurus semuanya, kita tidak perlu keluar uang sepeser pun."

Cages: The Mafia's BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang