Ch. 41: Stranger Outside the Window

60 8 0
                                    

Pagi-pagi benar sebelum matahari terbit, Angie terjaga seperti biasa. Ia merapikan rambut, mengikatnya jadi satu di belakang kepala dan menjepitnya dengan sirkam, kemudian mengendap-endap turun ke kamar mandi, berusaha tidak membangunkan paman dan bibinya. Air yang mengembun semalaman terasa sedingin es. Giginya bergemeletuk selesai mandi. Angie menutup pintu kamar mandi dan menjemur handuknya di luar sebelum kembali ke kamar. 

Anak tangga keempat dan ketujuh berderit jika diinjak, jadi Angie berjingkat melompatinya. Ia kembali ke kamar diam-diam dan mengunci pintu, kemudian membuka lemari dalam temaram lampu kamar, memilih pakaian bersih. Jemarinya baru membuka setengah kancing gaun tidur saat mata Angie menangkap boneka di meja tulis. Boneka beruang tersebut bertangan kosong; cokelatnya disimpan dalam laci meja dan bunga mawarnya mekar di vas kecil di sudut jendela. Kedua matanya yang bulat dan besar menatap lurus-lurus, entah kenapa mengingatkan Angie pada Toska.

Merasa malu, Angie mencengkeram gaunnya hingga menutup lalu bergegas menghampiri beruang itu dan memutarnya hingga menghadap belakang. Sesaat kemudian Angie berubah pikiran. Ia melempar bonekanya ke atas ranjang, menindihnya dengan bantal, lalu menghamparkan selimut ke atasnya. 

“Enak saja mau mengintip,” Angie berkata puas, meski beberapa saat kemudian merasa agak kekanak-kanakan. Setelah bersalin dengan kikuk, ia segera turun untuk bersih-bersih dan menyiapkan sarapan. Berkat bantuan Toska kemarin yang mengisi tandon hingga penuh, ia tak perlu menimba air pagi-pagi. Angie punya waktu lebih banyak untuk memikirkan surat undangan yang diterimanya dari Lingga selumbari. 

Itu cuma undangan makan malam biasa. Namun seorang gadis pergi sendirian ke tempat asing rasanya tidak pantas. Tapi dia kan ayahku? Angie berdebat sendiri dalam hati. Ia penasaran apa yang ingin dikatakan Gentala padanya. Atasan yang dimaksud Lingga sudah pasti Gentala. Terlebih pria itu mengendarai limo putih yang diwanti-wanti Toska untuk dijauhinya. 

Angie menimbang-nimbang seharian apakah ia seharusnya datang. Alasan apa yang harus dipakainya untuk pergi? Hasta dan Nawa tidak mungkin mengizinkan. Haruskah ia jujur soal Gentala? Lagi pula sepertinya Hasta tahu sesuatu. Setelah diingat lagi, pamannya memang selalu menatap dengan antipati, juga mengutuk kemiripannya dengan ibunya, seakan tahu ia tidak punya darah Wijaya. Angie mengerjap-ngerjapkan mata, mengusir kesedihan yang hinggap dengan mendadak. Ia menarik napas banyak-banyak dan mengembuskannya dari mulut, lalu segera melakukan sesuatu untuk mengalihkan benaknya agar tidak menangis. Sampah di dapur sudah penuh. Ia mengangkat bungkusnya dan membawanya keluar untuk diambil tukang sampah. Seharusnya ini dilakukan semalam, tapi Angie lupa. Untungnya Hasta tidak melihat atau pria itu akan rewel dan menyindir seharian penuh. Setelah kedatangan Toska, Hasta memang jarang menyakitinya secara fisik, tapi kemudian menggantinya dengan kekerasan verbal. 

Angie membuka pintu, menggigil sedikit diterpa angin pagi, kemudian ia berjalan pelan-pelan meletakkan plastik sampah ke luar rumah. Ketika membuka pintu pagar, seluruh bulu kuduk di tubuh Angie berdiri semua. 

Sekarang pukul setengah lima pagi. Orang-orang sudah mulai bangun, para pedagang pasar sesekali lewat bersepeda atau membawa gerobak. Ada juga yang jalan-jalan pagi. Tidak aneh jika ada orang di jalan. Namun pria yang berada di sudut jalan, bersandar pada tiang lampu sambil merokok, Angie yakin benar melihat pria itu semalam sebelum tidur. Ia mengabaikannya karena berpikir mungkin pria itu sedang menunggu seseorang. Kali ini, ketika Angie membuka gerbang dan meletakkan sampah di luar, kepala pria itu bergerak ke arahnya, memperhatikannya. 

Agar tidak menarik perhatian atau memperlihatkan bahwa ia tahu sedang diawasi, Angie meletakkan sampah dengan kecepatan biasa, tapi segera mengunci gerbang begitu kembali. Tangannya gemetaran saat meraih gembok, terlebih begitu melihat pria itu menyadari ketakutannya dan malah menghampiri. Tungkainya panas. Setelah mencoba untuk kesekian kalinya dan tidak berhasil mengunci gembok, Angie meninggalkannya begitu saja dan lari masuk ke dalam rumah. Tepat saat pria tadi mulai berlari. 

Pintu ditutup di belakang punggung Angie. Jantungnya berdentum-dentum dalam dada, membuat pelipisnya berdenyut sakit. Masih gugup, Angie segera mengunci pintu, memastikan semua tirai jendela rapat, kemudian berlari ke atas untuk membangunkan paman dan bibinya. 

Hasta mengusirnya begitu Angie mengetuk pintu dan mencoba masuk. Pria itu bahkan tidak memberi kesempatan padanya untuk menjelaskan, jadi Angie berusaha sebisanya menjelaskan pada Nawa yang masih terkantuk-kantuk. Nawa menemuinya di depan pintu, mengusap-usap pundak Angie, dan menenangkannya dengan berkata bahwa itu hanya perasaannya saja. 

“Mungkin Toska membuatmu sedikit percaya diri, tapi dia kasus khusus, tidak semua lelaki menginginkanmu, Angie,” Nawa berkata geli, nyaris mengejek. “Seseorang kebetulan berjalan ke arahmu dan kau langsung merasa dia menyukaimu.”

“Aku tidak merasa begitu,” Angie berkata putus asa. “Dia mengawasi kamarku sejak semalam, aku lihat dari atas.” 

Hasta kembali ke tempat tidurnya dan Nawa mendorong Angie lalu menutup pintu kamar di belakang punggungnya. Wanita itu menggeleng pelan, membuat roll yang memenuhi rambutnya ikut bergoyang. Mereka mengintip dari balik tirai jendela. 

Seluruh rambut Angie terasa seperti ditarik-tarik begitu melihat pria yang tadi masih ada. Tubuhnya pendek, hidungnya bengkok, pria itu berwajah lebar dengan mata kecil yang terpisah jauh. Pakaiannya sederhana dan rapi. 

“Lihat! Dia yang kumaksud!” bisik Angie tegang. “Dia masih di sekitar rumah. Bangunkan Paman?” 

“Hush! Jangan ngawur! Kasihan pamanmu, dia tidak tidur semalaman karena sakit. Sudah, biarkan saja. Ada banyak orang di luar. Kunci saja pintu dan jendelanya, dia tidak akan bisa melakukan apa pun. Aku mau mandi dulu. Kau sudah menimba air?"

Bagaimana bisa Nawa memintanya menimba air padahal ada orang aneh di luar? Angie merasa frustasi. “Airnya masih, tandonnya diisi penuh kemarin,” ia berkata. 

Nawa mengangguk, lalu berjalan ke kamar mandi. 

Angie kembali ke kamarnya untuk melihat pria itu lebih jelas dari atas. Begitu mengintip dari tirai, matanya bertatapan langsung dengan mata pria itu. Angie tersentak mundur. Dia melihat ke sini? Dentum di dadanya kembali, bergema ribut di kepala. Keresahan muncul seperti sulur-sulur yang tersimpul ketat di perut, membuatnya merasa ingin muntah. Angie merasa takut. Ada sesuatu pada wajah dan gerak-gerik pria di bawah yang membuatnya merasa tak nyaman, membuatnya terancam. 

***

Cages: The Mafia's BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang