Ch. 29: Unseen Struggles

1.2K 50 20
                                    

“Dia aneh,” komentar Lilac begitu Toska kembali ke belakang kemudi, menyalakan mesin mobil. Mereka berdua baru saja mengantar Angie pulang ke rumah Wijaya. 

Nawa sedikit histeris, bahkan menangis melihat Angie. Hasta seperti sedang menahan beragam emosi. Kali ini Angie tidak memintanya menginap. Lagi pula Toska mengantar bersama Lilac 

“Siapa yang aneh?” balas Toska. Ia memutar arah dengan mudah dan berjalan pelan menembus pekatnya malam. Lampu mobil membelah kabut. “Maksudmu Angie?” 

Lilac mengangguk. "Kakak lihat bagaimana wajahnya tadi? Bagaimana dia kelihatan tenang—terlalu tenang saat diantar pulang?"

“Lalu kenapa? Kau juga tenang saat pulang.”

“Setahuku pamannya sangat ketat. Pria itu sering mendisiplinkan Kak Angie dengan memukulnya."

Memukulnya. Toska mengetatkan genggaman tangannya pada roda setir. Kabut serasa pindah dari jalanan ke lapisan matanya, membuat napasnya berhenti. “Kau bilang apa, Lilly?” ia bertanya. Mobil melambat, lalu berhenti di pinggir jalan. Toska menoleh, menatap adiknya lurus-lurus. “Kau tadi bilang Hasta mendisiplinkan Angie dengan memukulnya?” 

“Yah … itu … normal, kan?"

“Normal? Apa Ayah pernah memukulmu?” Toska bertanya. “Apa aku dan Kak Ash pernah memukulmu? Tentu saja itu tidak normal!” 

“Kakak memukul Paing,” komentar Lilac. 

“Yah, dia bicara kurang ajar! Dan dia juga balas memukul, itu interaksi dua arah. Lagi pula ini bukan soal Paing. Kenapa baru bilang sekarang kalau Hasta suka memukul?”

“Kupikir Kakak sudah tahu."

“Aaagh, kebiasaan jelekmu. Tak pernah bilang apa pun meski sebenarnya tahu!” 

Lilac cemberut. “Ik ben een pacifist,” katanya. Sejak mempelajari bahasa asing di sekolahnya, Lilac jadi sering menyelipkan beragam bahasa saat bicara. Kadang Perancis, kadang Belanda, kadang Inggris. Barusan ini Lilac menyatakan diri sebagai seorang pasifis. Gadis itu menganut prinsip untuk tidak turut campur dalam permasalahan keluarga sebab pada akhirnya, yang menang pasti tetap seorang Effendi, jadi berpihak pun tak ada gunanya. “Lagi pula dia tak pernah melakukannya lagi sejak Kakak melamar,” katanya lagi. 

“Sungguh?” Toska menyipitkan mata. 

Lilac mengangguk. “Kalau Hasta memukulnya, pasti semua orang tahu. Kulit Kak Angelica kan pucat, memar sedikit saja pasti kelihatan.” 

Toska memikirkan bekas luka di kaki Angie. Meski sudah pudar, guratnya memang terlalu jelas. 

“Yang ingin kukatakan adalah," Lilac meneruskan, "Dia terlalu kalem padahal tahu pamannya seperti itu. Sikap santainya itu karena tahu selarut apa pun dirinya pulang, paman dan bibinya tidak akan marah selama dia bersama Kak Toska. Apa lagi hal terburuk yang bisa dilakukan Hasta? Menikahkannya dengan Kakak? Kurasa karena itu dia tenang. Kakak cuma dijadikan tameng saja."

“Nina melihatnya di halte dan membawanya ke La Luna,” sanggah Toska. Ia kembali menyalakan mesin mobil. “Angie bukan mencariku. Ini cuma kebetulan.” 

“Dia tahu siapa Nina. Jika dia diam saja di halte dekat modistenya, tentu saja seseorang akan menghubungi Kakak. Dengan begitu kalian bisa bertemu tanpa dia perlu menghubungi duluan. Aduh, masa begini saja tidak mengerti, sih? Ini kan trik kuno perempuan, sama seperti menjatuhkan sapu tangan agar pria di seberangnya mendekat untuk mengambilkan, lalu mereka jadi bisa mengobrol."

“Aku tersanjung kalau begitu,” sahut Toska. “Dia boleh menjatuhkan seratus sapu tangan tiap hari untuk kupungut. Apa sih yang jadi masalah?” 

“Masalahnya adalah jika pertemuan ini, permintaannya pada Kakak, semuanya mungkin saja sudah dia rencanakan.” Lilac mengangguk yakin. “Aku curiga dia mendapat nasihat dari seseorang.”

Cages: The Mafia's BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang