Gelap dan kotor. Gubuk itu terdiri dari kayu secara keseluruhan. Kasau-kasau terlihat dengan mata telanjang, setiap sudut dipenuhi sarang laba-laba. Cahaya bulan menerobos masuk dari atap gentingnya yang rompal. Sinarnya yang pucat jatuh ke tanah, tepat di samping sepatu Toska Effendi.
Pemuda itu duduk di atas bangku kayu. Dua pria berbadan bongsor mengawalnya beberapa langkah di depan, masing-masing membawa balok kayu besar yang masih diacungkan pada orang terakhir di ruangan tersebut: Karkun.
Hanya Karkun satu-satunya yang berbaring tengkurap di tanah. Tali tambang mengikat erat pergelangan kakinya, juga menahan kedua lengannya di belakang punggung dalam posisi yang menyakitkan. Debu tanah mengotori pakaian dan wajahnya yang memar berdarah. Serpihan beling dan gagang kacamata terserak tak jauh darinya.
"Biar kuulang lagi dari awal," suara Toska stabil dan dingin. "Begini aturannya: aku bertanya, kau menjawab. Kalau jawabanmu benar, tidak akan ada yang kesakitan. Mudah, kan?"
Tidak ada tanggapan, hanya terdengar bunyi sengal napas menahan sakit. Uap putih berembus dari bibir Karkun. Ia tidak mengenakan mantel. Satu-satunya yang ia syukuri dari dinginnya bulan Oktober, itu membuat luka-luka di tubuhnya mati rasa.
"Kau tahu siapa aku?" Toska bertanya.
Karkun mencemooh kebiasaan keluarga Effendi yang satu ini. Mereka selalu memastikan lawan bicara mengucapkan nama keluarga yang terkutuk itu, metode untuk menegaskan dominasi.
Tahu bahwa ia tak punya pilihan selain patuh, Karkun menggeram pelan dari sela napas, "Toska ... Effendi ..."
"Benar. Dan dua teman kita ini adalah Rob dan Bob," Toska memperkenalkan kedua tukang pukulnya dengan riang. "Itu saja yang kau tahu? Hanya namaku? Padahal rasanya aku cukup terkenal."
Tidak segera ada jawaban. Karkun masih menempelkan jidatnya ke lantai tanah, menolak menatap Toska. Jantungnya memburu dalam dada. Apa yang harus dikatakannya sekarang? Apa yang ingin didengar Toska? Pujian terhadap keluarga Effendi? Sanjungan?
Seluruh tubuh Karkun gemetaran ketika mengangkat wajah. Mata cokelatnya bertemu pandang dengan mata hitam kelam Toska. Merasa jijik, Karkun membuang ludah. Ia tidak mengenai apa pun selain tanah, tapi secara otomatis, tanpa diperintah, kedua pengawal Toska segera melancarkan tendangan dan pukulan marah seolah majikan mereka baru saja mendapat penghinaan keji. Karkun bahkan tak sempat mengaduh. Ia tersedak, terbatuk, hanya sanggup meringkuk seperti ulat dalam usaha melindungi diri. Tulang pipinya kena hantam-rasanya kebas. Hidungnya tersengat rasa sakit. Setiap hantaman membuat tali tambang yang mengikat tubuhnya terasa makin ketat, mengiris kulit. Hanya setelah tenggorokannya melolongkan erangan minta ampun, Toska menepuk tangan dua kali, menghentikan hujan pukulan.
"Kau tidak sepintar tampangmu, Tukang Ketik," komentar Toska. Ia bangkit berdiri, mengamati Karkun yang gemetaran hebat di lantai tanah, menarik napas susah-payah di antara sedak dan batuk. "Daripada meludah, kau bisa menjilat. Cobalah, mungkin aku akan kasihan."
"Tidak semua," Karkun meradang. Ia bergerak untuk membalik tubuhnya, tapi gagal karena tulang ekornya nyeri. Wajahnya kebas di mana-mana dan bibirnya pecah, tapi ia meneruskan, "sepertimu," ia berhenti untuk menarik napas, "diajari menjilat ... seperti ... anjing!"
Toska mengangkat sebelah tangan secepat kilat, menghentikan Bob dan Rob yang makin berang.
Gubuk ini jauh dari rumah penduduk. Kalaupun Karkun dengan suatu keajaiban bisa lolos dari sini dan melarikan diri, lelaki itu tidak tahu medan. Mungkin karena berpikir bahwa sudah tidak ada jalan keluar baginya, Karkun sudah menyiapkan diri untuk mati. Toska menganggap semua hinaan Karkun hanya dekingan binatang kalah.
Karkun sendiri sebenarnya mengerti bahwa satu-satunya harapan untuk keluar dari situasi ini adalah mendapatkan belas kasih Toska. Namun ia tidak sudi memohon bahkan meski nyawanya berada di ujung sepatu pemuda itu. Semua orang di Umulbuldan tahu metode keluarga Effendi. Cerita-cerita tentang keluarga itu dibisikkan di tiap kedai minum dan barung-barung, tersebar sebagai rahasia umum. Tiap anggota keluarga itu gemar membuat orang lain menjilat sol sepatu mereka hanya untuk menikmati rasanya menginjak harapan yang digantungkan di sana. Bahkan meski ia menghiba di kaki Toska, Karkun tahu pemuda itu tak mungkin berbelas kasih.
"Karkun, tukang ketik balai kota," suara Toska mengalun lembut. Telapak sepatunya membelai kasar lengan Karkun, tepat di sendi. "Andai tanganmu tetap digunakan untuk mengetik alih-alih mencuri ..."
Karkun menggigil hebat. Seluruh tubuhnya nyeri, rasa sakit menusuk-nusuk tanpa ampun, menjalar ke sekujur tubuh. Ia masih bisa merasakan bagaimana tubuhnya dihantam tepian balok kayu dan ditendang hingga sulit bernapas. Ia masih bisa merasakan semua hantaman yang membuat sendi-sendi tubuhnya ngilu.
"Tapi aku cukup murah hati," lanjut Toska, kali ini berjongkok di sisi kepala Karkun. "Jadi kau dapat satu kesempatan lagi. Kesempatan terakhir. Jangan kecewakan aku, hm?"
Kesempatan. Karkun mengerutkan kening mendengar kata yang demikian menggoda. Ia memberanikan diri mengangkat mata, bertemu pandang dengan wajah angkuh yang tersenyum tipis padanya.
"Telepon Angie," ucap Toska lembut, "telepon dan batalkan janji kalian. Akhiri hubungan kalian, jangan muncul lagi di depannya, buat dia membencimu. Lakukan itu, kau bisa pulang dan bertemu lagi dengan keluargamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cages: The Mafia's Bride
Mystery / Thriller#1 mystery-thriller #1 pembunuhan Keluarga Effendi mengurus bisnis simpan-pinjam di Umulbuldan. Uang, jasa, waktu, mereka akan meminjamkan apa pun dalam jumlah sebanyak yang dimau-tanpa bunga. Orang-orang yang meminjam hanya akan diminta untuk datan...