Angie lupa bahwa ini bukan rumahnya. Saat dering menggema di ruangan, tangannya otomatis mengangkat gagang telepon untuk menerima panggilan. Begitu mendengar suara Toska, ia jadi kaget sendiri dan memutus sambungan. Apa itu memang Toska atau ia salah dengar? Angie mulai meragukan telinganya. Ia diam memelototi telepon, berjaga-jaga kalau benda itu berbunyi lagi. Namun harapannya sia-sia.
Nina datang lima belas menit kemudian, membawa baki berisi minuman panas serta makanan. Wanita itu kelihatan gembira. "Permisi," katanya. Ia meletakkan baki logam di atas meja di depan Angie. Aroma cokelat panas tercium manis. "Malam ini dingin, chef membuatkan chocolate almond au lait dengan whipped cream. Minuman manis bagus untuk menaikkan suasana hati. Atau mungkin kau lebih suka Vermeer?"
"Cokelat panas sudah cukup. Terima kasih." Angie tidak tahu apa itu Vermeer. Ia melirik telepon di samping meja. "Tadi ada telepon. Maaf, aku tak sengaja mengangkatnya."
"Oh? Dari siapa?"
Angie merasa tidak bijak mengatakan itu dari Toska. Lagi pula ia tidak yakin. "Entahlah," jawabnya. "Sambungan terputus."
"Laki-laki? Perempuan?"
"Laki-laki."
Nina berpikir sebentar, lalu mengangkat bahu. Senyumnya masih terulas ramah. "Yah, nanti dia akan menelepon lagi kalau memang perlu. Tak usah khawatir." Ia berhenti. Kedua tangannya saling meremas dengan gelisah. "Sebenarnya, Nona ... ada seseorang yang ingin bertemu dengan Anda, jika Anda berkenan."
Angie mengangkat sebelah alis. "Siapa?" ia bertanya, "untuk apa?"
Nina sudah bertemu Angie tiga kali, termasuk kali ini. Kesan yang ia dapat dari Angie adalah gadis itu pendiam dan acuh tak acuh, cenderung penurut. Makanya Nina tak menyangka respons kritis Angie. Gadis itu juga terlihat begitu terbiasa memerintah orang lain, seakan semua orang memang sudah semestinya tunduk di bawah kakinya, yang mana membuat Nina bergidik. Rasanya seakan ia sedang bicara dengan Marissa Effendi.
"Nina?" Angie menyandarkan sikunya dengan santai ke bahu sofa. "Bukankah sekarang sudah terlalu larut untuk menerima tamu? Kupikir tak ada yang tahu aku di sini."
Nina tertegun, mengerti maksud tersirat pertanyaan Angie. "Aku tidak mengatakan pada siapa pun bahwa Nona ada di sini," jelasnya tergesa. "Namun setiap dinding di Umulbuldan punya mata dan telinga, pastilah ada yang melihat saya mendekati Anda di halte sehingga bisa menebak ke mana Nona singgah."
Angie merasa alasan tersebut bisa diterima. Lagi pula, jika Nina sampai perlu minta izin padanya, berarti tamunya cukup penting. Lebih baik jika ia tidak memperpanjang masalah. "Suruh dia masuk," ucapnya.
Nina mengiyakan dengan sangat sopan dan segera undur diri. Pintu kantor kembali tertutup, mengurung Angie sendirian.
Angie mengembuskan napas lega, melepas ketegangan. Sejak tadi ia meniru gerak-gerik dan sikap Toska: meminta maaf tanpa terlihat menyesal, memerintah tanpa meninggikan suara. Hasilnya cukup baik, Nina yang awalnya kelihatan jelas berniat menjilat untuk mengambil hati kini mengambil jarak dan lebih hormat.
Ia bergeser ke ujung sofa, meraih minumannya dari atas meja, menyendok whipped cream putih bertabur meses warna-warni, dan menyuapnya pelan-pelan. Memang benar, makanan manis membuatnya lebih tenang.
Terdengar suara langkah mendekat. Angie menyesap beberapa teguk cokelat, mengusap bibirnya hingga bersih, kemudian meletakkan cangkir di meja dan kembali pada posisi duduknya semula.
Daun pintu terayun membuka dan seorang gadis muda bermantel kelabu melangkah masuk seakan ialah pemilik La Luna. Desain mantel tersebut mirip dengan yang dikenakan Angie.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cages: The Mafia's Bride
Misteri / Thriller#1 mystery-thriller #1 pembunuhan Keluarga Effendi mengurus bisnis simpan-pinjam di Umulbuldan. Uang, jasa, waktu, mereka akan meminjamkan apa pun dalam jumlah sebanyak yang dimau-tanpa bunga. Orang-orang yang meminjam hanya akan diminta untuk datan...