Pukul sepuluh pagi ketika bel pintu berdentang, Angie sudah bersiap menerima kedatangan tamunya. Kali ini ia mengenakan gaun terusan baru yang rapi tanpa ditambah rompi. Rambutnya yang lurus dikucir jadi satu dan diikat pita hitam. Tadinya Angie hendak mengenakan cincin atau gelang perhiasan, tapi dibatalkannya karena merasa berlebihan. Saat membuka pintu, ia sedikit kaget melihat Toska tidak sendirian. Lelaki itu diikuti tiga orang, dua dari mereka bertubuh ramping dan kekar, dengan rambut cepak pendek dan pakaian rapi yang kelihatannya tidak nyaman mereka kenakan. Angie menduga mereka mengenakan itu semata karena ingin terlihat sebagai orang baik-baik di hadapannya.
Selain kedua orang tersebut, yang hanya mengangguk padanya dan segera pergi begitu selesai diperkenalkan, juga ada Paing. Pria itu tidak memakai monokel kali ini, wajahnya jadi kelihatan asing di mata Angie.
"Kalian sudah pernah bertemu, tapi aku belum memperkenalkannya secara resmi," Toska berkata masih di depan pintu. "Namanya Paing Respati. Dia kawan lama orangtuaku."
"Kawan, bukan kuasa hukum?" Angie memastikan sambil menjabat tangan Paing.
"Kuasa hukum perkara apa?" Toska menyikut Paing dengan jengkel.
"Itu cuma gurauan saja," Paing beralasan. "Ada kewajiban etis dan hukum yang melarang jaksa untuk langsung melibatkan diri dalam praktik hukum swasta selama kami masih bekerja di kejaksaan. Hanya orang-orang korup yang mendahulukan kepentingan keluarga tertentu di atas kepentingan negara," ketika mengatakan ini, senyumnya terbit dengan culas seakan sedang membicarakan guyonan pribadi yang tak mungkin dipahami siapa pun.
Angie merasa Paing sedang menyombongkan diri. Ia mengangkat bahu, berusaha menampilkan sikap acuh tak acuh dan bertanya, "Jadi orang yang mengawasi rumah ini sudah ditemukan? Kenapa dia melakukannya?" Ia penasaran. "Tak lama setelah aku meneleponmu, orang itu sudah hilang."
Paing mendeham pelan, menyela. "Berhubung Toska hanya ingin memperkenalkan kita secara resmi dan perkenalan sudah dilakukan, aku akan menunggu di mobil," ucapnya. Ia mengangguk pada Angie sebagai salam, kemudian berjalan pergi meninggalkan mereka.
Angie memperhatikan kepergian pria itu dengan penuh penilaian. Ia segera mengerti perkenalan resmi ini adalah upaya Toska untuk memperlihatkan padanya bahwa kejadian di gedung arsip, yang disebabkan oleh usul Paing, telah benar-benar diselesaikan. Tak akan ada lagi perbedaan pendapat di antara keduanya.
"Masuklah," ucap Angie sambil membuka pintu lebih lebar. "Bibi sedang pergi," tambahnya segera.
Setelah mendengar bahwa Toska akan datang, Nawa mendadak jadi sangat sibuk dan beralasan harus pergi ke sana-sini seharian. Entah apakah bibinya hanya ingin memberi kesempatan ia berduaan dengan Toska atau wanita itu hanya takut. Meski Angie sudah mulai terbiasa dengan kehadiran Toska, banyak orang di Umulbuldan masih punya reaksi yang sama melihat kedatangan orang-orang Effendi: takut dan hormat.
Sulit merasa takut pada Toska setiap kali Angie mengingat boneka beruang di kamarnya. Beruang konyol dengan beragam pernik genit. Ia bahkan hampir tertawa lagi membayangkan bagaimana kiranya ekspresi karyawan toko ketika Toska melihat-lihat dan memilih boneka
Toska menggantung topinya dan melepas mantel, ia menjawab pertanyaan Angie tadi dalam perjalanan ke ruang tamu, "Dia bukan siapa-siapa dan tidak akan mengganggu lagi. Dua orang yang kubawa tadi bisa dipercaya untuk menjagamu."
"Sebenarnya setelah kupikir lagi, itu agak berlebihan." Angie duduk di seberang Toska, mereka saling berhadapan.
"Berlebihan?"
"Maksudku ... soal dua orang itu. Aku benar-benar berterima kasih," Angie berkata tulus. Perhatian Toska membuatnya merasa dihargai, dan sebenarnya ia menyukai itu. Sayangnya malam ini ia berencana menerima undangan Lingga. Jika pengawal Toska melaporkan kepergiannya ke rumah Gentala, itu mungkin akan menjadi masalah. "Aku jadi tidak enak sudah mengganggu hari mereka dengan hal sepele."
"Tak ada apa pun darimu yang sepele," sahut Toska cepat. "Kenapa khawatir soal mengganggu mereka? Jika pergi ke restoran, apa kau juga takut mengganggu pelayan?"
"Beda, dong. Itu kan pekerjaan mereka."
"Ini juga pekerjaan mereka," Toska tertawa. "Memangnya aku menyeret sembarang orang di jalan dan memaksa mereka berjaga? Tidak, mereka dibayar dengan pantas. Tak perlu cemas. Sebenarnya aku malah merasa dua orang itu kurang banyak."
Sekarang Angie jadi lebih waspada. Ia meraih teko teh yang sudah disiapkan untuk menjamu Toska, menuang isinya ke dalam cangkir untuk mereka berdua. "Ada apa, Effendim? Bukankah katamu orang tadi bukan siapa-siapa? Apakah ada hal lain yang terjadi?"
"Tidak ada," balas Toska singkat. Terlalu singkat. Ia meneruskan lagi dengan wajah menyesal, "Sebenarnya aku mau memberitahu kursus pernikahan kita dibatalkan, aku sudah bicara dengan pastor paroki."
Kedua mata Angie terpejam seketika.
Jauh dalam lubuk hatinya, ia sudah menduga bahwa hari ini memang akan datang. Keluarga Effendi akan melihat kembali bahwa pernikahan bukan satu-satunya jalan untuk mencapai perdamaian dengan Gentala, mungkin juga itu semua hanya salah paham dan kedua pihak telah menyelesaikannya dengan baik, jadi kehadirannya tak akan diperlukan.
Penikahan mereka akhirnya dibatalkan.
Seharusnya Angie merasa senang. Bukankah ia menginginkan ini? Sejak pertama kali keluarga Effendi menapakkan kaki di rumahnya, inilah yang selalu dilantunkan Angie dalam doa sebelum tidur. Namun kenapa ia jadi tersinggung? Kenapa jantungnya terasa seperti ditikam dari berbagai arah?
Angie mengusap wajah dengan kedua tangan, mendadak merasa sedih dan konyol sudah merias diri berjam-jam. Ia berdandan hanya untuk menerima kabar buruk. Namun ini hal bagus, ia menghibur dirinya sendiri. Aku bisa datang ke rumah Gentala nanti malam tanpa perlu izinnya. Lagi pula aku memang tidak butuh izinnya jika Gentala memang ayahku!
"Satu minggu," Toska melanjutkan tenang, "aku akan sibuk minimal selama itu, jadi kita mungkin akan sulit bicara atau bertemu. Namun jangan cemas. Kalau membutuhkan sesuatu, telepon saja Nina. Dia akan membantumu."
Mulut Angie terasa kering. Ia meraih cangkir di meja dan menyesapnya banyak-banyak. "Tidak usah repot-repot," ucapnya, tidak tahan mendengar kehangatan dalam suara itu. "Aku sudah menduga ini akan terjadi."
"Oh ya?" Toska berkata tajam. "Bagaimana bisa?"
"Kalian keluarga pebisnis, aku juga," ucap Angie kalem. "Aku tahu bahwa tak ada masalah pribadi, segala hal harus dihitung untung dan ruginya. Bagimu lebih menguntungkan jika pernikahan ini tidak pernah terjadi, aku memahaminya."
Toska diam. Lelaki itu mengelus-elus bahu sofa yang dilapis kain beludru krem, memperhatikan teksturnya yang berubah gelap saat diusap. Setelah menunggu sebentar, ia memandang Angie dan bertanya dingin, "Apa kau sedang mencoba membuatku marah?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Cages: The Mafia's Bride
Misterio / Suspenso#1 mystery-thriller #1 pembunuhan Keluarga Effendi mengurus bisnis simpan-pinjam di Umulbuldan. Uang, jasa, waktu, mereka akan meminjamkan apa pun dalam jumlah sebanyak yang dimau-tanpa bunga. Orang-orang yang meminjam hanya akan diminta untuk datan...