Ch. 6: Don't Let Anyone Look Down on You

120 16 0
                                    

Setelah mengirimkan sepatu, Catur datang lagi sore harinya bersama dengan seorang wanita yang memperkenalkan diri dengan nama Nina. Usianya sekitar tiga puluhan awal. Tubuhnya sintal dan padat. Aroma parfum lembut tercium bersamaan dengan kedatangannya.

"Nyonya Nina akan mencatat ukuran tubuh Nona Angelica agar penjahit bisa membuatkan jaket yang lebih baik, yang sama dengan yang dipakai anggota keluarga Effendi, bukan sekadar imitasi," Catur menyampaikan.

Bukannya merasa malu disindir seperti itu, Hasta dan Nawa justru kegirangan. Mereka semakin bangga dan puas punya hubungan kekeluargaan dengan keluarga Effendi.

Seminggu setelahnya, dua setel mantel putih susu diantar ke rumah keluarga Wijaya, tapi bukan Catur yang membawakan.

Ketika membuka pintu, kedua mata Angie membeliak lebar melihat pria yang datang.

Pria itu tinggi dan jangkung. Rambutnya coklat kemerahan. Kacamata tunggal dengan bingkai dan rantai emas tergantung di dadanya.

Paing, Angie ingat nama orang itu. Pria yang dilihatnya bersama dengan Ash ketika ia mengunjungi rumah Effendi. Yang Angie tahu, Marissa Effendi hanya punya tiga orang anak. Ketika memperkenalkan diri, Toska juga hanya menyebut nama kakak dan adiknya.

Begitu melihat Angie, Paing memiringkan kepala dan tersenyum. "Mirip seperti ayahnya."

"Apa?" Angie terkejut. "Anda kenal ayah saya?"

"Tentu saja. Siapa yang tak mengenalnya di Umulbuldan?"

"Oh," Angie tidak tahu harus berkomentar apa lagi. Ayahnya memang saudagar yang cukup dikenal, tapi itu dulu. Ia tidak menyangka masih ada yang mengingat ayahnya. Sedikit rasa senang menyusup di hati Angie. Sekarang, ia mulai merasakan sedikit keakraban dengan Paing berhubung pria itu mengenal orangtuanya. "Silakan masuk," ucapnya sembari membuka pintu lebih lebar.

"Sedang memasak?" Paing bertanya.

Mengikuti arah pandang pria itu, Angie menunduk. Ia memang mengenakan celemek dapur yang penuh dengan serbuk tepung. Tangannya juga putih pucat karena barusan membuat adonan. Angie menatap Paing lurus-lurus. "Maaf kalau agak berantakan, saya sedang memasak di dapur."

Sebelum Paing menjawab, Nawa sudah berseru dari dapur, "Siapa yang datang, Sayang?!"

Angie memandangi Paing dengan ragu. Ia tahu nama pria itu, tapi tidak yakin yang didengarnya memang nama yang benar. Melihat bahwa Paing membawa dua mantel putih, mestinya pria itu memang datang atas suruhan Toska.

"Paing," Paing menjawab, tapi kepada Angie. Suaranya lembut. "Paing Respati, kuasa hukum keluarga Effendi."

"Apa kami dalam masalah?" Angie bertanya. Sebenarnya ia lebih suka begitu. Apalah Toska berubah pikiran? Lelaki itu tak ingin menikah lagi dengannya? Bagus.

"Tentu saja tidak. Aku hanya datang untuk mengantar jaket mantel ini." Paing mengangkat sedikit dua mantel putih terbungkus plastik bening yang tersampir di lengan kanannya, tapi belum menyerahkan benda itu pada Angie.

Angie mengantar Paing ke ruang tamu, lalu segera pergi ke dapur untuk melepas celemek dan memberitahu bibinya siapa tamu mereka.

Mendengar nama Paing, Nawa berubah pucat pasi dan jatuh lemas di depan Angie.

"Bibi?!" Angie memekik.

***

Pintu kantor terayun membuka tanpa pemberitahuan. Nina mengangkat wajah, siap menghardik, tapi dibatalkannya begitu melihat yang datang adalah sang induk semang.

"Effendim," Nina menyapa, segera bangkit berdiri dari meja kerjanya agar Toska bisa duduk di sana. Tangannya meraih buku keuangan, yang segera diletakkannya lagi begitu melihat Toska menggeleng.

Cages: The Mafia's BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang