Sepulangnya dari rumah Ella, Toska mengajak Angie menyusuri toko-toko yang terhampar di sepanjang jalan untuk mencuci mata para turis. Lelaki itu membeli segala hal yang dipandang Angie selama lebih dari tiga menit. Awalnya Angie terganggu dengan tingkah yang menurutnya seperti pamer kekayaan. Ia bahkan sempat ingin mencegah, berhubung pada akhirnya semua barang pasti akan berakhir di tangan Nawa. Namun setelah mempertimbangkan dalam hati, Angie batal mencegah. Jika Toska ingin menyombongkan kekayaannya, biar saja. Mungkin setelah melihat angka yang tersisa di rekening, lelaki itu akan mempertimbangkan ulang pernikahan mereka. Itu kemungkinan kecil, tapi Angie merasa terhibur memikirkannya. Ia sengaja berlama-lama memandangi banyak barang-barang mahal tanpa mengatakan apa pun, dan Toska terus membelikan semua barang untuknya tanpa bertanya. Mereka berdua seakan sedang memainkan pertandingan rahasia karena tidak ada yang bicara. Toska menunjuk dan melirik dengan samar, tetapi Rob, yang menyertai mereka selama seharian penuh, melihat semua itu dengan cermat dan menyelesaikan pembelian untuk mereka. Semua barang dikirim ke hotel.
Saat matahari agak tinggi di langit barulah Toska angkat bicara untuk mengajak makan. "Ada restoran yang bagus di dekat sini. Kita bisa makan di sana."
Sensasi puas yang kekanak-kanakan menyeruak di hati Angie karena memenangkan permainan kecil mereka. Ia senang tidak menjadi orang pertama yang perlu memecah suasana, meski kesenangan itu diguyur sedikit jengkel karena Toska barusan bukan bertanya padanya. Lelaki itu sudah memutuskan dan hanya memberitahunya sekadar untuk kesopanan. Sikap sok mengatur dan mendominasi ini membuat Angie teringat pada Hasta, dan mau tak mau Angie jadi membandingkan Toska dengan Karkun, yang pasti selalu menanyakan dulu pendapatnya dan menghormati keinginannya.
"Angie?" Toska memanggil karena tidak mendapat tanggapan. Mereka berdua sudah keluar dari pusat pertokoan dan sedang berteduh sebentar di emperan toko yang sejuk. Rob masih mengurus belanjaan entah di mana, pria itu akan bergabung dengan mereka di hotel nanti.
"Kita masih mengenakan pakaian berkabung," Angie mengingatkan. Punggungnya disandarkan pada tembok plester yang dingin dan menyejukkan. Ia sudah mengganti topi hitamnya yang bercadar jaring setengah muka dengan topi musim panas, tetapi tetap saja yang dikenakannya sekarang adalah gaun hitam polos dan sepatu hitam.
"Lalu kenapa?" balas Toska sambil menggulung lengan kemeja hingga ke batas siku. Jas hitamnya sudah ia lepas dan sampirkan begitu saja di tangan kanan karena panas. "Ada larangan soal itu?"
Orang ini memang aneh, pikir Angie. "Tidak secara tertulis. Tapi kau tahu ... ini kan seperti larangan memberi sesuatu dengan tangan kiri. Norma sosial semacam itu."
Toska tertawa mencemooh. "Sial benar pastinya jadi orang kidal."
"Kau kidal?"
"Tidak, tapi aku suka memberi sesuatu pada orang lain dengan tangan kiri. Itu membuat banyak orang jengkel."
"Kenapa membuat orang lain jengkel menyenangkan bagimu?"
"Tidak semua orang."
"Barusan tadi kau bilang apa?"
"Aku tidak bilang semua orang." Toska menyahut geli. "Aku senang mengobrol denganmu, Angie. Bagaimana kalau kita teruskan pembicaraan ini di restoran? Aku lapar, kau juga belum makan."
"Sudah, di hotel."
"Itu sarapan, sekarang jam makan siang. Kalau tidak mau ke restoran, kau ingin makan di mana?"
"Aku bukan tidak mau," Angie bersikeras. "Tapi memang tidak sesuai adatnya. Kita bisa kembali dulu ke hotel dan berganti pakaian serta cuci tangan dan kaki."
"Haha ... cuci tangan dan kaki, tabur garam ke kepala, menyentuh sampul kitab suci sebelum masuk rumah; semua itu hanya mitos belaka, Angie. Roh orang mati tak akan mengikuti pulang meski kita tidak melakukannya. Memangnya mereka kurang kerjaan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cages: The Mafia's Bride
Mistério / Suspense#1 mystery-thriller #1 pembunuhan Keluarga Effendi mengurus bisnis simpan-pinjam di Umulbuldan. Uang, jasa, waktu, mereka akan meminjamkan apa pun dalam jumlah sebanyak yang dimau-tanpa bunga. Orang-orang yang meminjam hanya akan diminta untuk datan...