Ch. 7: Poking a Bear

143 16 0
                                    

"Paing itu ... orang yang bahaya," Nawa berkata. Tangannya masih gemetar. Ia bahkan tak berani bicara terlalu keras di kamarnya sendiri lantaran takut Paing masih berada di sekitar rumah, mendengar mereka. "Banyak orang masuk penjara karenanya. Kupikir ... aduh, kupikir tadi dia datang karena Toska tahu kita sempat menjual kalung itu. Kupikir kita akan masuk penjara. Aku takut sekali sejak kasid itu datang."

Angie berlutut di sisi ranjang Nawa, mengusap-usap punggung tangan bibinya yang kurus dan sudah keriput. Toska pernah mengirim kotak-kotak berisi perhiasan untuknya. Benda itu tentu saja berakhir di pegadaian dan pasar setelah sampai ke tangan bibinya. Angie melepas kalung itu tanpa perlawanan karena tidak tertarik dengan perhiasan. Ia menenangkan bibinya, "Tidak, Bi. Paing cuma mau memberi salam padaku, kami belum sempat bertemu waktu aku ke rumah Effendi. Lagi pula, Catur sudah bilang bahwa Toska berpikir itu hanya salah paham. Itu cuma kalung, Bi."

"Tapi itu kalung emas! Ada batu zamrudnya! Mungkin kita harus membelinya kembali?" Nawa bertanya tegang.

"Tidak usah. Bukankah kalung itu sudah kembali ke tangan Toska? Catur bilang begitu." Angie tak pernah menyukai paman dan bibinya, tapi bagaimanapun juga, kedua orang tersebut adalah keluarganya. Nawa memperlakukannya lebih baik ketimbang Hasta. Meski bibinya mata duitan, Angie tetap iba melihat wanita itu ketakutan seperti anak kucing dalam kamar yang gelap dan tertutup rapat. "Paing cuma datang untuk membawakan mantel. Dia sudah pergi, aku melihatnya sendiri masuk ke dalam mobil dan pergi."

Nawa mengangguk beberapa kali, kelihatan lebih tenang sekarang. Ia menatap Angie dengan mata kelabunya yang pucat. "Oh, Sayang. Aku benar-benar takut tadi. Andai pamanmu ada di sini, dia pasti bisa menerima tamu dengan lebih baik. Apa saja yang kalian bicarakan tadi?"

Angie mengangkat bahu. "Dia bilang, harusnya aku tidak bertanya apakah seseorang adalah kasid."

"Apa? Apa maksudnya? Kau bertanya pada siapa?"

"Aku bukan bertanya," Anggie mengoreksi, "aku memastikan. Aku tahu dia bukan kasid."

"Aduh, anak tolol! Harusnya aku memang tidak meninggalkanmu sendirian! Aku lupa kau sebodoh ini!" Nawa menoyor pelipis Angie dengan gemas. "Kau tanya apa dia seorang kasid? Kau menanyakan itu pada Paing? Lalu bagaimana reaksinya? Dia marah padamu?"

"Dia tertawa."

"Tentu saja dia tertawa! Untung dia cuma tertawa! Kau konyol sekali! Bodoh benar! Bagaimana sih caramu berpikir?!"

Angie mengunci bibir. Ia duduk melipat kaki di karpet, tak lagi bernafsu menghibur Nawa. Wanita malang yang tadi meringkuk ketakutan di bawah selimut kini sudah berubah jadi bibinya yang biasa.

Nawa menghela napas. Ia menyibak selimut dan turun dari ranjang. "Ayolah kita ke dapur. Aku perlu membuat teh untuk menenangkan diri. Sekalian kujelaskan beberapa hal padamu. Pamanmu tak ingin menceritakan apa-apa karena berpikir Toska Effendi suka gadis lugu. Dari seluruh gadis di negara ini, yang dipilih adalah kau yang tolol. Makanya pemikiran pamanmu masuk akal. Namun kalau begini terus, aku bisa kena serangan jantung duluan sebelum jadi besan Effendi. Setidaknya kau harus tahu hal-hal umum."

Angie mengikuti bibinya dengan lebih bersemangat. Mereka turun ke lantai satu dan berjalan ke dapur, mengecek adonan tepung, kemudian menjerang air. Angie membersihkan meja dengan teliti, berusaha bersikap sebaik mungkin agar hati bibinya melunak dan mau bercerita lebih banyak.

Pengetahuan adalah awal dari kekuatan. Mengetahui lebih banyak tentang lawan sama saja memenangkan separuh pertarungan.

Angie berniat mengumpulkan informasi sebanyak mungkin tentang keluarga Effendi agar pada saatnya nanti, ia bisa membalas dendam untuk Karkun.

Cages: The Mafia's BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang