Ch. 36: The Watchdog

51 8 0
                                    

Begitu sampai di Umulbuldan, hal pertama yang dilakukan Paing adalah menemui sahabatnya, Timur, anggota DPD yang terhormat, dan membujuknya membuat tim penyidik khusus untuk menangani kasus kematian Karkun.

“Masalah ini memang semakin membesar," Timur setuju, “surat kabar mulai mengorek-ngorek kasus lawas yang tak ada hubungannya hanya untuk mendiskreditkan kepolisian agar oplah penjualan meningkat. Bisa-bisa kepercayaan rakyat terhadap sistem hukum di negara ini jadi berkurang jika dibiarkan.”

Mereka berdua memainkan bagian masing-masing seakan sedang berada di atas panggung teater. Paing memuji Timur, mengatakan betapa beruntungnya Umulbuldan karena memiliki senator yang bisa diandalkan. Timur menerima pujian dengan rendah hati, beralasan bahwa sudah kewajibannya menyelesaikan masalah yang menguras hati rakyat. Mereka berdua menyesap kopi masing-masing dan melanjutkan sarapan.

“Aku mendengar kabar bahwa Gentala punya letnan baru,” ucap Paing. “Apa kau tahu sesuatu tentang itu?”

Timur menggeleng. “Sayangnya dia membenciku dan aku menghindarinya. Dari mana kau dengar soal letnan itu?”

“Marissa. Dia menyuruhku mencari tahu detailnya."

“Kalau Marissa yang bilang maka itu pasti benar." Timur menimbang-nimbang sejenak. “Kurasa ada satu orang yang bisa membantumu mencari tahu."

“Siapa?”

“Zita.” Timur mengeluarkan buku catatan dari saku jasnya dan menulis alamat di salah satu halaman, kemudian menyobek dan menyerahkan halaman tersebut pada Paing di seberang meja. “Orang-orang menyebutnya Mama Zita. Temui dia di Buldan Timur. Wanita itu telah lama menjadi mucikari di daerah remang-remang. Meski cukup muda, dia cerdas. Telinganya mendengar banyak hal tentang dunia bawah dan terlatih membedakan mana yang rumor dan mana yang benar. Jika Gentala memang menarik orang dari dunia bawah, dia pasti tahu. Tak ada yang lebih awas mengenai politik dunia bawah ketimbang orang sepertinya. Sebab dia harus menjaga kucing-kucing kecilnya agar aman.”

Paing menyelesaikan sarapan, menjabat hangat tangan Timur, kemudian segera memanggil taksi untuk pergi ke alamat yang diberikan. Menyelesaikan perintah Marissa adalah prioritas utamanya begitu sampai Umulbuldan.

Setelah mencari ke sana dan ke sini, memaksa dan mengancam, seseorang akhirnya mengantar Paing rumah kecil di pinggiran Buldan Timur.

Rumah tersebut terlalu manis untuk jadi tempat tinggal mucikari. Tamannya terawat dan penuh bunga. Dapurnya berasap tanda digunakan. Paing mengetuk pintu. Yang menerimanya adalah Zita sendiri. Paing menaksir Zita tak lebih tua darinya, mungkin masih di pertengahan kepala tiga. Rambutnya yang hitam lurus diikat rapat ke belakang kepala, menyisakan helai-helai pendek di sisi wajahnya yang oval. Wanita itu hanya mengenakan kaos polos dan celana pendek seperti baru pulang berolahraga. Tubuhnya sintal dan padat sementara bola matanya memancarkan kecerdasan.

“Kau tidak datang untuk mengadopsi kucing,” Zita segera menyimpulkan begitu melihat wajah tamunya.

“Aku lebih suka anjing daripada kucing,” Paing mengakui. “Tidak mempersilakanku masuk?”

“Tidak memperkenalkan diri?” balas Zita.

“Paing Respati. Aku datang untuk kepentingan keluarga Effendi."

“Aku tahu nama-nama itu.” Zita menorehkan senyum dingin. “Dr. Paing Respati, pria yang selalu memperkenalkan diri sebagai kuasa hukum keluarga Effendi meski tidak sedang menangani kasus tertentu untuk keluarga tersebut. Kau terang-terangan menyatakan dirimu sudah dibeli. Bukankah seorang jaksa adalah pejabat negara? Memangnya boleh jadi kuasa hukum pribadi milik sebuah keluarga?”

Paing mengangkat bahu. “Konsultasi denganku ada harganya untuk setiap pertanyaan. Kau mau meneruskan di dalam?”

Zita tertawa. Ia membuka pintu lebih lebar dan mempersilakan Paing masuk. Ada beberapa perempuan muda berpakaian kasual sedang memilih-milih kacang hijau di ruang tengah. Mereka duduk di lantai, menatap penasaran ke arah Paing yang mengikuti Zita ke belakang rumah.

Cages: The Mafia's BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang