Ch. 32: There's No Greater Punishment Than Jealousy

59 8 0
                                    

Tumbuh sebagai seorang Effendi, Toska menganggap dijauhi dan ditakuti orang adalah konsekuensi normal. 

Banyak yang membencinya, ada yang mengaguminya, tak sedikit yang mendekatinya dengan pujian berlebihan. Orang-orang bahkan pergi berpencar begitu melihat warna rambutnya atau mantel khas yang ia kenakan—Ash yang membuat desain awalnya sebagai guyonan belaka, kemudian Toska mengikuti karena menganggap itu keren, dan Lilac tentu saja mengkopi kakak-kakaknya. 

Intinya, Toska sudah terlalu terbiasa dengan reaksi ngeri, jijik, atau kagum yang menjurus takut dari orang lain ketika mendengar namanya. Kali ini, ketika orang-orang di jalan menyambutnya dengan hangat dan tulus, Toska jadi kebingungan. 

“Aku cuma pergi dua hari. Begitu pulang, mendadak semua orang berubah sinting,” ucap Toska geli. Semua yang terjadi hari ini begitu menarik baginya. “Seseorang bahkan mendoakanku barusan!" Ia menatap Catur yang berdiri di sisinya. “Apa yang terjadi?” 

Catur mendekat padanya, kemudian menceritakan apa yang terjadi dua hari lalu. Angie menyelesaikan pertikaian antar dua keluarga. Berkat kesuksesannya, para wanita yang lain satu per satu mulai datang pada Angie meminta bantuan. Kemampuan persuasif gadis itu begitu hebat hingga bahkan yang ditolak pun tidak mengeluh. 

“Nona benar-benar sudah mirip seorang Effendi,” Catur mengakhiri ceritanya dengan bangga seakan Angie adalah pacarnya sendiri. “Tuan harus melihatnya! Caranya berjalan, caranya menatap, semua begitu elegan! Ketika dia menundukkan pandangan, semua pria ikut menunduk agar bisa mengintip seperti apa ekspresinya.” 

“Hmmmm.” Toska merasa yang terakhir itu kedengaran menyebalkan. “Jadi, dia melakukan apa saja selama dua hari? Aku ingin detail lengkapnya—" Ia diam begitu ingat sudah janji pada Angie untuk tidak menyelidiki soal gadis itu diam-diam. Toska menghela napas. Ia menepuk meja kedai dan bangkit berdiri. “Tidak jadi, deh. Bilang pada Rudy, aku batal datang hari ini. Pertemuan ditunda."

“Tuan mau ke mana?” 

“Kenapa? Aku butuh izinmu?” balas Toska. 

Catur menciut mendengarnya. “Tentu saja tidak, Tuan. Saya cuma mau bilang hati-hati di jalan …” 

Toska tidak menjawab. Ia berjalan keluar dari kedai kopi dan masuk kembali ke mobilnya, meluncur ke rumah Wijaya. 

***

Angie tidak pernah mendengar kabar dari Toska selama hampir tiga hari. Nawa bilang lelaki itu pergi ke Antargata, menghadiri konferensi yang dihelat di sana oleh kementrian ekonomi. Ia pikir Toska baru akan kembali beberapa hari lagi. Angie tidak menyangka akan melihat lelaki itu begitu membuka pintu untuk keluar. 

Toska bahkan belum menarik bel pintu. 

Selama beberapa detik, mereka hanya saling bertatapan kaget. Kemudian Toska tersenyum padanya dan Angie membanting pintu keras-keras hingga menutup. 

“Sayang?!” Nawa berteriak dari dapur. “Apa yang jatuh?!” 

“Tidak ada yang jatuh!” Angie menjawab. Jantungnya berdebar-debar. Kepalanya terasa panas sekarang. Ia mengusap wajah dengan lengan baju, lalu membuka lagi pintunya pelan-pelan dan mendapati barusan memang tidak salah lihat. Toska masih berdiri di sana, menatapnya teduh. 

“Kupikir kau pergi ke Antargata?" Angie bertanya sebelum Toska sempat membuka mulut. Ia tak ingin membahas kenapa barusan membanting pintu. 

“Ya, barusan pulang dan aku langsung ingin melihat wajahmu." Toska melirik pada tas-tas kertas di tangan Angie. “Apa itu? Baunya enak."

Angie mengangkat dua tas pada masing-masing tangannya. “Pai apel dan kue-kue. Banyak orang memberi kami tepung, telur, dan sembako lainnya akhir-akhir ini sampai gudang makanan berlimpah. Jadi kami membagikannya pada tetangga setelah diolah." 

Cages: The Mafia's BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang