Ch. 24: Bitter Truth

289 24 1
                                    

Angie menatap dengan wajah pucat. Matanya bingung dan hampa. Seketika itu juga, Toska sadar bahwa citra dirinya di mata Angie sudah luluh lantak. Apa pun yang ia katakan sekarang hanya akan terdengar sebagai sandiwara belaka.

Bukan berarti Toska akan menyerah. Ia segera memberi isyarat pada Dwi dengan sentakan kepala. Kedua orang suruhan di belakangnya menarik Andi bangun, menyeretnya pergi dari ruangan.

“Tunggu, tunggu!" Angie berlari mendekat, menghalangi Bob dan Rob. Kedua tangannya menahan ke depan. “Dia mau dibawa ke mana? Lepaskan dia.” 

“Cuma ke luar sebentar, Nona,” Rob menjawab. “Supaya Nona bisa mengobrol leluasa dengan Tuan Muda.” 

Angie menoleh tajam ke arah Toska sekarang, memberi permintaan yang nadanya lebih mirip memerintah, “Tolong lepaskan Andi."

“Tentu.” Tak ingin berdebat di depan orang lain, Toska menyanggupinya dengan mudah. Ia mengangkat bahu, memberi kesan bahwa hidup mati Andi tak memberi banyak perbedaan baginya.

Rob dan Bob saling berpandangan, kemudian mereka menyentak lepas lengan Andi hingga pria itu hampir terjungkal jatuh. Saat mendapatkan kembali keseimbangannya, Andi segera lari tunggang langgang tanpa menoleh ke belakang lagi. Rob dan Bob menyusul pergi tanpa tergesa. 

Begitu pintu menutup, Toska mengira Angie akan langsung menghujaninya dengan banyak pertanyaan. Namun yang muncul hanyalah kesunyian panjang selama beberapa ayunan pendulum jam. 

Mungkin masih ada kesempatan, Toska berharap bisa menata situasi, memberi penjelasan yang memuaskan untuk kejadian pagi ini. Ia berjalan maju pelan-pelan, berusaha memangkas jarak dua meter antara dirinya dengan Angie. Gadis itu justru mundur dua langkah. 

“Yang dia katakan itu benar?" Angie mengangkat wajah, menatap Toska tepat di titik hitam pada kedua matanya. “Gentala memang ayahku?” 

Toska berpendapat peran seorang ayah seharusnya lebih dari sekadar penyumbang sperma. Namun ia menahan lidah. “Dia bicara ngawur. Suwandi bukan pria terhormat. Makanya semalam kuminta jangan temui dia lagi. Sedang apa kau di sini?" 

Angie tidak percaya. Sorot matanya jelas-jelas terluka. “Jadi itu motifmu menikahiku?" 

“Tentu saja bukan!” sergah Toska. Ia mendesah keras. “Astaga, bagaimana bisa kau lebih percaya pada orang asing dibanding tunanganmu sendiri?!” 

“Kalian berdua sama-sama orang asing bagiku.” 

Apakah ekspresi tertarik yang dilihatnya kemarin hanya mimpi belaka? Di wajah Angie hari ini yang tampak hanya permusuhan. Toska merasa ia seperti terlempar ke tiga bulan lalu, saat memperkenalkan diri secara resmi ke rumah keluarga Wijaya. Saat itu Angie juga menatapnya persis seperti ini. Ada kebencian yang siap meledak jadi tangisan di mata coklat gelapnya.

Hubungan mereka mulai dari nol lagi. 

Apa yang diinginkan Paing dari membeberkan masalah ini pada Angie? Toska menggertakkan gigi, menahan emosi. Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. “Sudah kubilang, lebih baik kau belajar denganku saja, bukan dengan pria lain." 

“Supaya kau bisa memonopoli informasi yang kudapat?” 

“Supaya apa yang kau ketahui bukan fakta sepotong-sepotong yang justru akan memperkeruh hubungan kita.” 

Angie menatap tanpa berkedip. Suaranya getir saat berkata, “Apakah ada sesuatu yang bisa disebut hubungan di antara kita, Effendim? Bukankah aku hanya tawanan?” 

Menarik, adalah komentar yang terlintas di benak Toska saat ini. Mungkin ia sudah sinting karena kecapekan, tapi reaksi Angie memang menarik di matanya. 

Cages: The Mafia's BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang