Ch. 2: Seed of Doubt

2.8K 87 2
                                    

    Klerek balai kota ditemukan mengambang di sungai Gurur. Topik tersebut menghiasi koran-koran Umulbuldan, menyingkirkan berita-berita politik dan ekonomi yang biasa mendominasi tempat. 

    Potret Karkun menghiasi setiap artikel, kisah hidupnya ditulis sedramatis mungkin. Ditulis dalam huruf besar-besar di setiap lembar koran murahan adalah: pembunuhnya belum ditemukan. 

    Sudah seminggu sejak Karkun dikuburkan, tapi media masih terus membahas dengan detail kematiannya tanpa belas kasihan.

    Angie menggeser koran pagi di atas meja agar menjauh darinya. Ia tahu bahwa pamannya, Hasta, sengaja meletakkan koran itu di meja makan sebagai peringatan untuknya. 

    "Hari ini aku sarapan bersama Toska," Angie mengumumkan, seolah paman dan bibinya belum tahu. Undangan sarapan sudah dibaca dan diterima oleh Hasta kemarin. 

    "Tentu, dia akan menjemputmu lagi, kan?" Hasta menukas, menggeser kembali korannya agar berada dalam jarak baca Angie. "Hati-hatilah kalau bicara dengannya." 

    Angie hanya mengangguk kaku. Ia menoleh ke samping, mendapati bibinya berjalan mendekat dengan membawa dua buah mantel di lengan. Satu putih susu dan yang lain cokelat muda. Kedua setelah tersebut masih benar-benar baru, dengan wangi kamper toko dan ujung lengan yang bersih.

    "Aku membelikanmu mantel bagus!" bisik Nawa antusias ketika sampai di ruang makan. Tangan kurusnya meluncur ke depan. Angie mencium aroma parfum menyengat ketika lengannya ditarik mendekat. Mantel yang dibawa Nawa dipasangkan ke depan bahu Angie berganti-ganti. "Kau suka yang mana? Aku lebih suka yang putih, tapi cokelat juga bagus karena Toska Effendi kan memakai mantel cokelat." Senyumnya melebar. "Kalian pasti kelihatan serasi kalau pakai warna yang sama!"

    Uang siapa yang dipakai bibinya? Dari mana? Angie menepis pertanyaan yang mampir di benaknya dan berusaha memasang ekspresi tertarik. "Dia sudah datang?"

    "Belum, dong! Kau pikir aku bisa sesantai ini kalau dia sudah datang? Bodoh benar. Nah, mana yang kau suka?"

    Angie memilih warna putih, membiarkan bibinya berbisik, "Sudah kuduga kau juga suka!" sebelum membantunya memakai mantel itu.

    "Rambut lurusmu mau kau biarkan begitu? Sekarang ikal sedang populer. Kau bisa minta ditemani ke salon setelah sarapan, minta dia yang bayar! Kau toh bakal jadi istrinya." Nawa mengoleskan sesuatu yang dingin dan wangi ke beberapa bagian tubuh Angie seperti pergelangan tangan, belakang leher, tulang selangka, bahu—meski bagian yang terakhir terasa percuma karena akan tertutup blus serta mantelnya.

    "Aku suka rambutku," sahut Angie tawar. "Dia juga bilang rambutku bagus lurus begini."

    Yang terakhir itu bohong. Beberapa kali bertemu dengan Toska, lelaki itu jarang memberi komentar soal rambut. Komentar terakhirnya soal rambut Angie hanya ketika seekor merpati menjatuhkan kotoran di sana sambil terbang.

    "Baiklah, aku cuma memberi saran." Nawa mengangkat bahu. "Itu rambutmu. Mahkotamu. Kita lupakan saja ikal-ikal kalau keluarga Effendi suka rambut lurus."

    Hasta mendengus dari tempatnya duduk. Wajah merah angkuh pria itu berubah pucat seketika begitu bel pintu berdentang. Mereka tidak ada punya tamu lain pagi ini, jadi bel pintu hanya punya satu arti: Toska sudah datang. Angie memperhatikan dengan kecut bagaimana paman dan bibinya berubah panik seperti hewan ternak kehilangan gembala. Wajah mereka memucat karena tegang. Setelah saling berbisik menentukan siapa yang harus keluar menyambut, akhirnya Hasta yang beranjak tergesa ke pintu depan. Nawa ditinggalkan untuk menyiapkan Angie. Bibinya itu menarik napas panjang-panjang untuk menenangkan diri seakan dirinyalah yang hendak diajak sarapan. 

Cages: The Mafia's BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang