Eps, 20

1.2K 68 2
                                    

#Frederik Pov

Ku alihkan perhatian mengusir curiga melangkah mendekatinya. Belum jadi ku tanyakan keberadaan Faustin, aku tersentak dia meraih tanganku dan ditariknya aku masuk kedalam ruang kantor.

Logika masih di atas hati, Devan menyodorkan kertas berisikan rekapan kerja.

"Kau coba baca dan hitung ulang ukuran-ukuran itu, besok kerjakan" katanya.

Rupanya dia masih belum ngeuh siapa diriku. Lalu ku rebahkan badanku di kursi sofa sambil ku baca sekilas tulisan-tulisan itu. Ku lihat Devan menatapku lalu tertawa kecil yang entah tertawa karena apa memamerkan sederetan giginya yang rapi berbaris, tertutup bibirnya yang berselimut tipis bulu-bulu kemachoan.

Perawakan Devan cukup berkontur dengan urat tegas menonjol di setiap jengkal kulitnya yang bersih. Aku diam-diam memperhatikannya. Apalagi dibawah pusatnya yang terpamer lewat model ketat yang juga ku suka.

Ku alihkan perhatian lagi dengan mengamati tulisan-tulisan rekapan. Disudut mataku terlihat Devan menyalakan komputer dan nampaknya tengah mengetik-ngetik sesuatu.

"Tin,"

"Apa ko?" Responku

"Sini deh" Ditariknya kursi plastik untuk dudukku di sebelahnya.

”Di site ini ada satu penulis yang heboh banget cara berfiksi, dia membidik pelakunya dengan detail kayak udah pengalaman” ucapan Devan terus meluncur seirama tangannya gesit memainkan mouse membuka jaringan cyber.

Rupanya dia wibu, atau entah apa sebutan untuk orang-orang yang gemar fiksi seperti itu aku tidak tahu. Aku ikut melihat layar komputer sebatas untuk menghargai. Dan dilayar terpampang sederetan judul erotic stories lengkap dengan nama dan email penulisnya.

Devan masih mengajak bicara seputar website yang sedang ditelusurinya. Aku cuma memainkan kepalaku dan mataku tanpa menjawab.

Devan tiba-tiba bangkit dan mendesakkan tubuhnya ke tubuhku hinggaku terjatuh ke lantai dengan kepala bersandarkan sofa. Dia mendekat, jarak merapat, sekejap tangannya yang kokoh merambat ke pusat kelaminku yang masih tersembunyi dibalik celanaku yang ketat.

Nyaris ku lupa akan tujuanku, lupa bahwasanya sedang bersandiwara menjadi Faustin. Namun, melihat kelakuan Devan menumbuhkan rasa penasaran tentang apa yang akan dia lakukan.

Dalam diam hanya desah dan irama ketidak aturan nafas kami yang berbaur. Devan nampak benar-benar dipuncak hasrat, tangannya begitu liar meremas-remas penisku.

“Kemarin kenapa tidak mau, sekarang mau ya?” katanya tanpa melepaskan tangan yang terus meraba permukaan kulit perut dibalik kaosku.

Tak urung tanganku pun melayang, melepas kejengkelan atas kelakukannya.

"Bangsat lo ya!"

"De-Derik?" Dia menyadari spontan.

"Ya, saya Frederik!"

Mata melebar, wajah putihnya nampak memerah butiran-butiran keringat mulai nampak menetes di dahi

Dengan menahan luapan amarah ku pinta penjelasan melalui lisan tentang apa yang dia lakukan pada Faustin, dia menjawab dengan banyak sekali alasan.

Kesabaran kian menipis, jiwa preman menggerogoti sukma. Ku menghantamnya sampai darah mengucur dari mulutnya, dia terkapar lalu mengancam akan mambuatku mendekam di penjara.

"Saya gak takot! Silahkan lapor, tapi kau saya matiin sekarang. Masih bisa ngelapor gak kalo udah mati, hah? Bisa lapor gak! mikir!"

Sensasi rasa kepala dihantam tentulah pusing tujuh keliling (pengalaman pribadi) serasa pengen muntah, dia melambai-lambai tangan mohon perampunan lalu ku hentikan hantaman.

Oh AdikkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang