CHAPTER 25 - Rumah yang Sepi

166 11 0
                                    

"Kenapa rumahmu sepi sekali?" tanya Anna pada Evander malam itu seusai makan malam.

Evander tak segera menjawab. Ia malah menyesap kopinya. Kopi pertama yang dibuatkan Anna untuknya. Kopi hitam pekat tanpa gula.

"Aku tak suka keramaian," jawan Evander singkat.

"Bahkan pembantu pun tak ada di rumah," ucap Anna.

"Mereka datang pagi, lalu pulang setelah pekerjaan mereka selesai. Biasanya setelah makan siang, mereka pulang. Tak ada yang menginap. Aku tak membutuhkan apa-apa dari mereka. Jadi, mengapa mereka harus tinggal? Kalau kau perlu apa-apa bilang saja padaku atau Pak Karyo juga boleh," sahut Evander.

Anna membandingkan rumahnya dengan rumah Evander. Di rumahnya ada Bi Min dan Unti yang tinggal. Unti masih remaja sembilan belas tahun. Biasanya hanya menyapu, mengepel, mencuci, dan menyeterika pakaian.

Hanya Pak Nun, sopir papa, yang biasanya pulang ke rumahnya saat malam karena masih memiliki keluarga.

"Aku akan melanjutkan kerjaku. Kau boleh menonton TV kalau mau. Di atas juga ada ruang santai di sebelah kamar," ucap Evander sambil menghabiskan kopinya.

Anna masih duduk termangu di meja makan. Jam segini biasanya ia masih ada di kampus untuk mengikuti kegiatan atau ke café kalau ia ingin menyanyi. Tapi, sekarang kala ia sudah menjadi nyonya rumah, ia tak tahu harus mengerjakan apa.

*

*

Anna merasa tak tahu bagaimana menghadapi Evander. Kadang kala lelaki itu nampak begitu perhatian, bahkan terkadang suka menggodanya. Tapi, di lain wakti ia bisa bersikap apatis.

Ia bisa berjam-jam ada di ruang kerjanya yang bersebelahan dengan kamar mereka. Sepulang kantor, setelah makan malam, ia bisa menghabiskan waktunya di sana. Anna seringkali tidak tahu kapan lelaki itu masuk ke kamar untuk tidur setiap malamnya.

Anna sudah terlebih dahulu tidur saat Evander kembali ke kamar. Pagi harinya saat Anna bangun tidur, lelaki itu sudah ada di gym pribadinya yang terletak di kamar paling ujung lantai dua.

Beberapa hari ini percakapan hariannya dengan Evander hanya berupa 'selamat pagi', 'halo', dan semacamnya. Percakapan yang hanya ditujukan bagi orang-orang yang tak terlalu kenal dekat secara personal. Tak ada percakapan intim layaknya suami istri.

Pagi sampai siang saat pembantu rumah tangga datang, Anna juga sangat jarang berinteraksi. Mereka hanya bekerja, lalu pulang setelah selesai. Mereka tidak mengenal jam kerja. Hanya datang sebelum pukul tujuh pagi, dan pulang setelah pekerjaannya beres. Anna merasa tak enak kalau mengajak ngobrol saat mereka sedang sibuk bekerja.

Anna hanya menghabiskan hari-harinya menonton televisi atau bermain ponsel. Ia tak bisa bertemu kedua sahabatnya. Hana dan Danila sudah mulai bekerja. Hana malah bekerja di Bandung. Anna sangat iri dengan kedua temannya itu yang masih bisa beraktivitas di luar rumah.

Evander tidak membatasi geraknya. Ia mau keluar pun tak pernah dilarang, asalkan izin dulu padanya. Sopirnya selalu siap 24 jam kapan pun ia membutuhkannya. Anna tak bisa membawa mobilnya ke rumah Evander. Garasi mobil yang seharusnya muat hingga enam mobil sudah dipenuhi dengan mobil-mobil besar Evander dan tak menyisakan ruang untuknya.

Andaikan Anna punya keluarga yang selalu merindukannya, tentu dengan senang hati ia akan sering-sering pulang ke rumah. Daripada di rumah besar yang selalu sepi seperti ini.

Satu bulan Anna tinggal di rumah Evander membuat Anna merasa ada yang kosong dalam hidupnya. Hari-harinya yang sebelumnya penuh warna menjadi monokrom akhir-akhir ini. Anna bahkan merasa lebih baik ia berdebat dengan Rica atau Diva setiap hari daripada hanya berdiam diri sepanjang hari.

"Non, jangan, Non, tidak usah!" seru Karyo tak enak hati saat Anna membantunya di halaman belakang pagi itu.

Karyo sedang memangkas rumpun asoka. Anna yang sudah merasa bosan setengah mati pun ikut membantu. Ia memasukkan cabang dan daun yang sudah dipangkas ke dalam karung plastik.

"Nggak apa-apa, Pak. Lagian saya lagi nganggur nggak ada kerjaan lain. Daripada bosan," ujar Anna.

Karyo merasa tak enak kalau nyonya rumahnya sampai ikut berkotor-kotor membantunya bekerja. Ia tak mau ditegur tuannya gara-gara hal ini.

"Pak Evan nanti marah kalau tahu," kata Karyo.

"Nggak akan marah, kok, Pak. Kalau marah, nanti saya yang ngadepin," ucap Anna menenangkan Karyo.

Karyo menyerah dengan ucapan nyonya rumahnya itu. Yang penting ia tak kena marah tak apa-apa.

"Pak, yang itu bisa dipecah kan?" tanya Anna sambil menunjuk rumpun keladi yang daunnya bertotol-totol merah.

"Iya, Non. Rencananya mau saya pecah dan ditanam di sebelah sana," jawab Pak Karyo sambil menunjukkan tempat untuk menanam keladi.

"Sini, biar saya saja yang kerjakan," ucap Anna sambil mengambil pisau dan alat tanam yang tergeletak di atas rumput.

"Non Anna bisa?" tanya Karyo ragu.

"Bisa, Pak. Dulu di rumah, saya sering bertanam juga," sahut Anna.

Anna mendekati rumpun keladi dan mulai memecahnya menjadi beberapa rumpun kecil. Ia pun menanamnya kembali di tanah kosong yang sudah disiapkan Karyo. Dulu, saat di rumah, Anna juga sering melakukannya. Entah bagaimana nasib rumpun keladi dan suplir yang dulu ditanamnya. Semoga saja Bi Min atau Unti mau merawatnya.

Menghabiskan waktu beberapa jam, rasanya menyenangkan. Meskipun punggungnya pegal karena harus jongkok dan berdiri memindahkan tanaman, tapi Anna merasa harinya tak lagi kosong.

Waktu cepat berlalu saat kau melakukan apa yang kausukai. Sebaliknya waktu rasanya berjalan terlalu lambat saat kau merasa bosan.

Hal itu juga yang terjadi pada Anna hari ini. Setelah sepanjang pagi dan siang, ia beraktivitas. Sore ini, setelah membersihkan tubuhnya, Anna bersantai di ruang santai lantai dua. Dibawanya juga secangkir teh dan ginger cake yang sempat dibuatnya setelah berkebun. Anna menekuri waktunya yang kembali sepi.

Televisi besar yang ada di hadapannya sudah menyala sejak tadi. Menampilkan acara yang Anna tidak paham apa isinya. Pikirannya kembali mengembara. Ia melamun sambil merebahkan tubuhnya di atas sectional sofa yang besar dan empuk.

Aroma teh yang harum dan semilir angin dari jendela yang dibukanya lebar-lebar membuat mata Anna mulai berat. Ia mulai mengantuk.

Anna hampir terbang ke alam mimpi, tapi tersentak kaget saat dering notifikasi ponselnya berbunyi. Anna membuka ponselnya dan menemukan pesan whatsapp dari nomor yang tidak ia kenal. Anna membuka pesan itu dan berharap itu hanya pesan tawaran hadiah atau penipuan melalui tautan aplikasi.

Namun, sedetik kemudian Anna menatap ponselnya tak percaya. Dadanya bergemuruh menahan luapan emosi yang tak bisa dikendalikannya.

Nomor ponsel tak dikenal itu mengiriminya gambar. Bukan hanya satu, tapi beberapa gambar yang menunjukkan Evander ada di sebuah bar. Duduk di sofa dengan beberapa pria yang tidak Anna kenal.

Yang membuat Anna terkejut adalah Evander dengan duduk di sebuah single sofa tengah memangku seorang perempuan berpakaian minim. Evander dan perempuan itu tengah berciuman.

Bersambung

CEO'S LADYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang