CHAPTER 53 - Harga yang Harus Dibayar

145 10 1
                                    


Evander kembali menuju rumah Tama. Semoga saja Reynard dan anak buahnya sudah sampai. Ia harus menyelesaikan urusannya secepatnya. Untung baginya laki-laki kurang ajar itu rumahnya cukup sepi. Jadi, Evander tak perlu membawanya ke basement kantornya untuk memberinya pelajaran.

Ia yang seharusnya menjemput Anna untuk pulang malah disuguhi pemandangan tak mengenakkan. Ia mendengar suara teriakan saat membuka pintu gerbang yang tak ditutup sempurna itu. Dan saat membuka pintu depan dilihatnya laki-laki lain menindih tubuh istrinya dengan bibirnya mencumbu Anna.

Nalurinya sebagai laki-laki murka melihat hal itu. Anna tak akan begitu bodohnya bercumbu dengan orang lain saat ia meminta suaminya untuk menjemput. Kalau benar-benar Anna ingin bercumbu dengan laki-laki lain tentu akan dilakukannya di belakang punggungnya.

Jadi, kesimpulannya hanya satu, laki-laki itu yang ingin menggagahi Anna secara paksa. Ia sudah melampiaskan kemarahannya pada laki-laki itu. Namun, Evander belum puas. Ia bisa melakukan yang lebih daripada itu kalau sudah menyangkut tentang harga dirinya.

Saat Evander sampai rumah Tama, ia melihat blind van hitam sudah terparkir di dalam carport. Ia turun dari mobilnya dan menyerahkan kuncinya pada seorang laki-laki tegap berjaket kulit yang duduk di teras rumah.

"Bawa mobilku ke kantor! Besok aku yang akan mengambilnya," perintah Evander yang langsung dilakukan lelaki tegap itu.

Evander masuk ke dalam rumah Tama. Laki-laki itu masih terkapar di lantai, tapi tampaknya sudah mulai sadar. Di sebelahnya berdiri Reynard dan dua orang anak buahnya.

Evander menutup pintu ruang tamu dan menguncinya. Beberapa lampu penerangan di dalam rumah sudah dimatikan, hanya menyisakan lampu di ruang tengah.

Anak buah Evander mengangkat Tama yang kondisinya sudah begitu menyedihkan dan mendudukkannya di kursi makan ruang tengah. Tama melenguh pelan saat merasakan sakit di kepalanya seperti dipukul palu.

Kepala Tama terkulai lemah di bawah dagunya. Bibirnya berdarah dan rahangnya terlihat membiru.

Tama merasa orang-orang yang dari tadi mengerumuninya, entah siapa, menarik tangannya ke belakang dan mengikatnya di punggung kursi. Tama merasa semakin tak berdaya dan hanya bisa pasrah dengan nasibnya.

Evander mengambil kursi makan, lalu memutarnya menghadap Tama dan duduk di situ. Kedua sikunya bertumpu pada pahanya untuk menopang dagunya. Ia menatap tajam ke arah Tama yang mengangkat kepalanya pun merasa kesulitan.

"Berani sekali kau menyentuh milikku," desis Evander tajam, "kau pernah merasakan tanganmu tercabut satu per satu dari tubuhmu?" imbuhnya lagi.

Tama hanya melenguh pelan tak mampu menjawab. Ia sadar kalau ia salah memilih lawan. Bukannya senang karena tugasnya sudah selesai, malah ia harus berhadapan dengan laki-laki yang menge-klaim Anna sebagai miliknya. Ini sama saja keluar dari mulut buaya, masuk ke dalam moncong singa.

Reynard menyerahkan ponsel Tama pada Evander. Evander membukanya dan tersenyum miring. Ia berjalan mendekati Tama dan menarik jari-jarinya yang terikat. Tama memberontak ketakutan, ia tak mau kehilangan jari-jarinya. Apa yang dilakukan laki-laki di depannya itu sangat mirip dengan mafia.

Evander menarik telunjuk Tama. Tak ia pedulikan Tama yang memekik perlahan karena merasa kesakitan. Ia tempelkan telunjuk Tama di layar ponsel supaya ia bisa mengkases isinya.

Ada beberapa panggilan tak terjawab dari nomor tanpa nama. Tama tak sempat menjawab panggilan telepon itu setelah ditidurkan secara paksa oleh Evander.

Evander membuka pesan-pesan yang dikirim nomor tak dikenal. Bukan hanya satu nomor, tapi beberapa nomor dengan perintah yang sama.

Rahang Evander semakin mengeras saat ia membaca pesan demi pesan itu. Darahnya mendidih dan membuat matanya semakin mengelam. Ia benar Anna tak akan begitu bodohnya bermain api di belakangnya. Laki-laki keparat ini yang ternyata mengerjainya atas perintah seseorang, entah siapa.

"Kau memperlakukan istriku seenaknya karena ini?" tanyanya geram sambil tangannya terus membuka pesan dan menemukan video saat Tama mengawasi rumahnya.

Evander yang tak bisa lagi membendung emosinya langsung menendang tubuh Tama sehingga tubuh dan kursi yang didudukinya terjengkang ke belakang. Tama mengerang kesakitan. Tampaknya malam ini akan menjadi saksi akhir hidupnya.

Reynard dan anak buahnya menarik tubuh Tama sehingga ia kembali duduk di depan Evander. Giginya gemeletuk menahan sakit. Tubuhnya sudah kepayahan bertahan. Kalau tidak ada tali pengikat tangannya, ia pasti sudah ambruk dari atas kursi.

Evander membuka video-video yang ada di ponsel Tama. Yang isinya perintah untuknya melakukan sesuatu. Evander melemparkan ponsel itu ke tubuh Tama, dan tangannya kembali melayang memukul Tama yang sudah tak berdaya.

Tama hanya pasrah wajahnya menjadi sansak hidup pukulan Evander. Ia hanya mengeluarkan suara-suara kesakitan yang lemah. Evander baru berhenti saat Tama benar-benar tak bergerak dan tak bersuara lagi.

"Bersihkan semua jejak. Satu jam lagi telepon ambulans dari ponselnya!" ucap Evander yang disanggupi Reynard dengan sebuah anggukan. Reynard menyuruh dua orang yang datang bersamanya membersihkan semua jejak.

Ia juga melepaskan ikatan Tama dan membiarkan tubuhnya jatuh tergeletak di lantai. Mereka masih harus menunggu satu jam lagi untuk menelepon ambulans seperti perintah Evander.

Setelah menelepon ambulans, Reynard membersihkan jejak yang ada di ponsel Tama dan meletakkannya di samping kepala Tama. Setelah itu ia mengikuti Evander yang sudah terlebih dahulu masuk ke dalam van dan meninggalkan rumah Tama.

Bersambung

CEO'S LADYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang